PERHATIAN : SITUS INI KHUSUS UNTUK USIA DIATAS 18 TAHUN ... MATERI DALAM SITUS INI BERISIKAN KONTEN-KONTEN UNTUK ORANG DEWASA ... BAGI ANDA YANG MASIH DIBAWAH BATAS KETENTUAN USIA DIMOHON TIDAK MENGAKSES SITUS INI..!!!. TERIMA KASIH

Manisnya Dunia Serasa Madu Chapter: 2

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah separuh lebih waktu kuliahku terlewati. Dengan bergantinya tahun akademik kuliahku, aku memutuskan untuk pindah kost kedaerah pinggiran Kota Bogor. Toh kuliahku juga sudah tidak terlalu padat lagi, tinggal satu semester dan setelah itu mulai penyusunan skripsi.
Setelah cari sana cari sini akhirnya kudapatkan sebuah paviliun berukuran 5x4meter disebuah kampung dengan kamar mandi didalam. Rumah kostku ini bukan terletak dikompleks perumahan, melainkan hanya disudut perkampungan warga biasa. Saat itu kondisi Bogor masih sejuk dan jarak antar rumah didaerah itu masih agak jarang. Pemilik rumah kostku bernama Pak Yos seorang pegawai negeri yang sudah ‘MPP’ dengan istrinya bernama Bu Mirna yang berjualan di Pasar Ramayana. Anak-anak mereka sebagian sudah berkeluarga dan tinggal di Jakarta. Yang bungsu sedang melanjutkan kuliah di Bandung.
Sejak pertama kali tinggal disini aku sudah merasa kerasan. Lingkungannya tidak terlalu ramai, tetapi angkutan ke kota dan ke kampus relatif lancar dan sampai malam pun masih ada. Kalau siang hampir semua tetangga bekerja. Meskipun kalau siang sepi namun menurut Pak Yos lingkungan ini cukup aman. Tidak pernah ada kejadian kehilangan jemuran atau sandal yang diletakkan diluar. Ada yang menjadi karyawan swasta, buruh atau pegawai negeri. Hampir setiap orang dilingkungan ini saling mengenal sehingga aku pun merasa at home.
Sehari-hari aku disibukkan dengan jadwal kuliah, praktikum dan laporannya. Ada satu dua teman yang datang dan minta advis untuk bermacam-macam masalah. Mulai dari masalah perkuliahan sampai pacaran dan masalah pribadi lainnya. Rasanya aku dipandang sebagai orang bijak yang mampu memecahkan masalah teman-teman. Kalau pun aku tidak menemukan jalan keluarnya paling tidak ada yang mendengarkan keluhan, itu kata mereka. Dengan nada bercanda sering kukatakan pada teman-temanku satu hal yang aku tidak mau dengar yaitu kurang duit, karena aku juga tidak punya kemampuan untuk menyelesaikan atau membantu.
Kadang aku merasa tidak enak mengetik sampai larut malam karena mengganggu tetangga. Ketika kutanyakan pada Pak Yos, ia mengatakan tidak apa-apa karena toh jarak antar rumah agak jauh. Saat itu komputer belum banyak dipakai. Lagian kata dosenku ia lebih menghargai laporan dengan mesin ketik manual, karena orisinalitasnya. Kalau menggunakan komputer paling hanya copy file dan kemudian diedit sedikit.
Rumah kostku terletak disudut kampung, didepan dan samping rumah masih berupa kebun dan sawah. Jendela nako dikamarku menghadap pekarangan salah satu tetangga dibelakang. Namanya Pak Suhaidi, kami biasa memanggil Pak Edi atau kadang Pak Hadi. Istrinya dipanggil Ibu Heni, umurnya tiga puluhan. Beda umur keduanya cukup jauh sekitar sepuluh tahun mungkin lebih. Pak Edi bekerja dilingkungan kampusku meski berbeda fakultas sebagai staf administrasi. Ibu Heni dirumah saja, hanya kadang kulihat ia membawa baju untuk dikreditkan kepada orang-orang menengah kebawah didalam lingkungan kampung.  Anaknya laki-laki kelas empat SD, namanya Eka. Agak nakal tapi masih dalam batas-batas kewajaran.
Satu hal yang kuperhatikan dari keluarga itu, bahwa Pak Edi tidak pernah pergi bersama-sama dengan Ibu Heni. Aku sebagai warga baru tentu tidak sopan untuk mencari tahu tentang hal ini. Lama-kelamaan kudengar bahwa memang begitu dari dulu. Katanya mereka dijodohkan dan Ibu Heni sebenarnya tidak mencintai suaminya. Selentingan lain yang kudengar Ibu Heni dulu pernah terlibat affair dengan seorang pejabat. Namun beberapa lama aku tinggal disini kelihatannya mereka akur-akur saja, tidak pernah terdengar ribut-ribut atau kata-kata keras bernada tinggi dari rumah itu.
Wajah keduanya memang bertolak belakang. Pak Edi seorang yang gemuk, pendek dan raut mukanya seram meskipun sebenarnya ramah juga kalau diajak ngobrol. Ibu Heni terlihat sebagai seorang wanita yang pandai merawat tubuhnya dan menampilkan pesona dirinya. Ia aktif ikut berbagai kegiatan, mulai dari senam dilingkungan ibu-ibu PKK dan pada sebuah sanggar senam di Bogor, arisan ibu-ibu dilingkungan serta kegiatan sosial kampung lainnya.
Tubuhnya terlihat segar dengan senyum yang selalu mengembang. Wajahnya cantik, kulitnya putih, badannya sintal dengan tinggi sekitar 163 cm dan berat seimbang. Dadanya montok, rambutnya berombak ikal kecil dipotong sedikit dibawah bahu. Bulu halus menghiasi kakinya, mulai dari paha sampai betisnya. Kelihatan indah sekali kalau dia mengenakan celana pendek. Kaki kirinya mengenakan gelang kaki dengan bandul yang beradu setiap kali dia berjalan.
Crik..!!!. Criik..!!!. Criiik..!!!. Selalu kudengar bunyi itu kalau dia berjalan.
Setiap pagi Ibu Heni menyapu halaman rumahnya. Aku sering mengintipnya dari jendela nako kamarku yang berkaca gelap dan kututup. Halaman rumahnya agak rimbun dengan berbagai tanaman perdu. Kadang ia menyapu kearah kamarku dengan menggunakan daster longgar, tetapi tangan yang satunya selalu menutup bagian leher dasternya kedadanya sehingga aku tidak bisa menikmati buah dadanya. Kalau sedang menyapu pantatnya bergoyang-goyang. Kelihatannya ia seolah-olah menyadari kalau sering kuintip.
Kalau sudah begitu ia melepaskan tangan yang menutup leher dasternya, namun arah menyapunya berubah menyamping sehingga yang kelihatan hanyalah silhouet tubuhnya dengan segumpal daging yang menggantung didadanya. Tinggal giliran aku dibalik jendela nako hitam sedang meremas dan mengocok kemaluanku dan membayangkan sedang menggumuli kenikmatan tubuh Ibu Heni sampai akhirnya mencapai klimaks.
Kalau bertemu dengan Ibu Heni selama ini aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Kalau pun keluar suara hanya sekedar selamat pagi, siang, sore, malam. Suatu sore ia berdiri didalam pagar pekarangannya dan memanggilku yang baru pulang dari kuliah praktikum.
"Anto.. Dik.. Dik Anto sebentar Dik. Ibu ada perlu sedikit" katanya dengan suaranya yang manja dan merdu. Aksennya ringan, khas orang Sunda.
"Ada apa Bu..? Apa yang bisa saya bantu..?" kataku.
"Saya ada perlu nih..! Masuk dulu yuk..! Nggak enak bicara dipagar. Nanti disangka sedang nagih hutang".
Ia kemudian membuka pintu pagar sampingnya dan aku masuk kedalam pekarangannya. Beberapa sudut rumahnya cukup terlindung oleh rimbunnya dedaunan tanaman perdu sehingga tidak terlihat dari luar pagar. Beberapa tempat diatas pekarangannya ditanami dengan rumput manila.
"Eka cawu kemarin nilai rapornya jelek. Dapat ranking sepuluh dari belakang. Makanya kalau Dik Anto bisa, saya mau minta tolong agar kasih pelajaran tambahan, les begitu, untuk Eka. Nanti ada upah lelahnya lho..!" katanya lagi.
"Ah..! Ibu kok sungkan begitu. Saya dengan senang hati mau bantu. Tapi saya tidak mau dibayar kok..!" jawabku.
"Jangan begitu Dik, saya yang jadinya nggak enak. sudah minta tolong tidak tahu berterima kasih" rayunya.
"Begini saja Bu, saya akan kasih les Eka kapanpun sepanjang Eka mau dan saya ada dirumah, karena kadang ada perubahan jadwal kuliah. Mengenai lain-lainnya saya serahkan saja pada Bu Heni" kataku memutuskan.
Bu Heni setuju dengan keputusanku tadi dan mengucapkan terima kasih berkali-kali. Aku pun mohon diri dan secara tak sengaja tanganku bergesekan dengan tangannya ketika menutup pintu pagar. Terasa lembut dan halus. Dadaku berdesir dan berdebar-debar. Aku jadi salah tingkah ketika berjalan pulang kekamarku.
Mulai saat itu Eka menjadi murid les-ku. Kemampuan otaknya memang sedikit lemah, tapi ia mempunyai semangat untuk belajar sehingga perlahan-lahan nilainya disekolah mulai membaik. Ibu Heni sangat senang dengan perkembangan Eka. Kalau Eka datang ia membawa kue titipan ibunya untuk kami makan bersama-sama sambil belajar. Uang yang diberikan Ibu Heni sebenarnya kutolak, tapi karena ia selalu memaksa terpaksa kuterima juga. Menurutku Ibu Heni terlalu banyak membayarku untuk waktuku memberikan les privat kepada anaknya.
Suatu sore sekitar jam empat sepulang dari kampus aku melihat dari belakang tubuh Ibu Heni yang baru pulang senam. Ia mengenakan kaos tipis warna merah muda yang ditutup jaket training-pak kuning dengan garis putih. Sungguh serasi dengan warna kulitnya. Leher belakangnya masih terlihat berkeringat. Kembali dadaku berdesir melihatnya. Aku menyusul langkahnya, tapi belum sempat langkahku sejajar dengannya ia kebetulan menoleh kebelakang.
"Eiit..! Dik Anto. Baru pulang kuliah..?" tanyanya.
"I i.. I.. Iya Bu" jawabku tergagap.
Sepanjang gang yang kami lalui terlihat sepi. Kusejajarkan langkahku dengan langkahnya. Ritsluiting jaketnya terbuka setengah sehingga dadanya yang terbungkus kaos tipis tampak menonjol kedepan. Tangan kami bersinggungan dan seolah-olah tanpa sengaja telapak tangannya memegang telapak tanganku sebentar. Badanku panas dingin. Ibu Heni hanya tersenyum saja.
Sampai dikamar pikiranku menjadi tidak karuan. Sambil berganti celana pendek dan t-shirt kulihat dari jendela Ibu Heni sedang makan ice cream menghadap kamarku. Ia mengulum ice cream-nya dengan nikmat sekali. Kubayangkan ia sedang menjilati kemaluanku. Langsung saja aku BT (Bawah Tegang). Kututup kaca nako, korden dan kuintip dia dari balik jendela kamarku. Kembali fantasiku melayang dan tanganku sudah menggenggam dan mengusap kemaluanku yang meronta-ronta.
Belum sampai aku mencapai klimaks Ibu Heni sudah masuk kedalam rumahnya. Dengan mendengus kecewa kuhentikan kegiatan tanganku. Kuputuskan kuteruskan saja nanti malam sambil berbaring diranjang.
Pintu kamar kubuka. Udara terasa panas karena mendung, kemudian kuhidupkan kipas angin. Kurapikan mejaku yang berantakan dengan membelakangi pintu. Karena asyiknya membereskan meja aku tidak menyadari ada orang lain yang masuk kedalam kamarku. Aku baru sadar ketika perasaanku kemudian mengatakan ada orang dibelakangku. Aku menengok kebelakang.
"E e e.. Eh, Ibu. Ma.. Ma. A.. Aaf saya hanya pakai celana pendek" kataku terbata-bata.
Ketika tahu bahwa yang masuk kamarku adalah Ibu Heni.
"Nggak apa-apa. Saya yang harusnya minta maaf karena masuk tanpa mengetuk pintu. Kulihat kamu lagi sibuk beresin meja" katanya.
"Eka aya di dieu To..? Urang balik tadi masih ada di imah, sekarang geus ngilang. Ka mana eta budak..?"
Dia menanyakan apakah anaknya ‘si’ Eka, ada disini. Karena waktu dia pulang tadi Eka masih ada dirumah. Tapi sebentar kemudian menghilang.
"Nggak ada Bu, saya sendirian aja dari tadi".
Ia menatapku tajam. Aku mencoba menghindar dari tatapan matanya, sesekali saja aku mencuri pandang mengamatinya. Ia masih mengenakan kaos tipis merah jambu yang dipakainya tadi dan bawahannya hanya mengenakan celana pendek sebatas paha berwarna biru. Paha bawahnya terlihat mulus. Bulu-bulu halus terlihat dipaha sampai dibetisnya. Aku menelan ludah dan keringat dingin mulai menitik dipori-poriku. Badanku panas dingin dan gemetar, mukaku memerah padam.
Ibu Heni mendekatiku dan memegang tanganku.
"Kamu sakit To, minum obat dulu gih..!" katanya.
"Nggak kok Bu, saya nggak apa-apa" kataku.
Sambil menepis tangannya dengan halus. Tetapi justru tangannya menangkap dan memegang tanganku, kemudian diusap-usapnya bulu tanganku yang tumbuh jarang. Sekujur badanku meremang.
Aku menahan desakan dibalik celana pendekku. Adik kecilku mulai ingin ikut mencampuri urusan orang dewasa dan berontak. Dilepasnya tanganku dan berjalan kearah pintu, celingukan sebentar memperhatikan sekelilingnya sesaat, kemudian sandalnya dan sepatuku diangkat dan dimasukkan kedalam kamar. Ia menutup pintu, menguncinya dengan gerendel dan kembali berjalan kearah tempatku berdiri dan berhenti setengah meter didepanku.
Aku tidak berani menatapnya. Ia diam saja didepanku dan kedua tangannya memegang dan mengusap pipiku kemudian mengarahkan mukaku untuk menatapnya. Bau parfum yang lembut bercampur dengan bau tubuhnya bagaikan sebuah feromon pemikat lawan jenis. Lututku gemetar seakan tidak kuat lagi menahan berat tubuhku. Terpaksa kutatap wajahnya. Begitu indah dengan leher jenjangnya yang masih berkeringat. Ia menatapku dengan tersenyum. Mulutnya yang merah merekah mengeluarkan nafas segar, bau harum mint.
Setelah kupaksakan mataku menatap dan memandangnya, baru aku tahu bahwa bra yang dipakainya berwarna putih terlihat kontras dengan kaosnya, menutup hanya bagian puting dan sepertiga buah dadanya yang seakan-akan mau tumpah keluar semuanya. Kepalaku berdenyut-denyut, mataku mulai berkunang-kunang dan agak kabur.
Ia memegang tanganku dan mendekap dengan kedua tangannya didadanya. Gemuruh didadaku seakan mau meledak. Sebentar kemudian dilepasnya tanganku dan dia merebahkan kepalanya didadaku. Tubuhku serasa melayang terbang tidak menginjak bumi.
"Ja.. Ngan Bu, nanti ketahuan. Sebentar lagi Bapak pulang" kataku gemetar.
Ia hanya tersenyum manis saja dan bibir manisnya mulai berbisik lembut;
"Pak Edi pulangnya nanti malam, Pak Yos dan Bu Mirna pulang kampung selama tiga hari. Ini kuncinya dititip sama aku tadi siang" katanya sambil merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kunci rumah induk.
Aku kehabisan kata-kata, mulutku terkunci rapat. Diluar gerimis mulai turun. Sekilas ada rasa takut yang menyergapku, takut ketahuan oleh seseorang.
Ibu Heni menyapu lembut bibirku dengan bibirnya. Aku tidak berani membalasnya, masih terdiam pasrah menerima perlakuanya. Ia kemudian mengulangi dan melumat bibirku. Dengan kaku kubalas lumatannya. Terasa lembut dan nikmat sekali bibirnya. Lama-kelamaan ciumanku berubah menjadi lumatan ganas. Aku dulu memang pernah berciuman dengan Tina saat dikampung, tapi tidak sepanas dan sebuas ini.
Lidahnya mendorong lidahku dan menyusuri rongga atas mulutku. Aku membalasnya, kudorong lidahnya, dia menyedot lidahku. Apapun yang dia lakukan kubalas dengan hal yang sama. Lihai sekali dia dalam berciuman. Aku mendapat banyak pelajaran teknik berciuman dari Ibu Heni. Kepalanya miring sehingga mulut kami bisa saling menyedot. Suara kecipak perpaduan bibir kami mulai terdengar. Desakan dari balik celana pendekku mengganjal perutnya dan ia semakin menekan selangkanganku dengan kuat.
"Lepas baju kanu dulu, Sayang..!" ia menyuruhku.
Kulepas kaosku dan sekaligus kulepas celana pendek serta celana dalamku dalam sekali gerakan. Dadaku yang bidang dan berbulu lebat membuatnya berdecak kagum. Kejantananku langsung mencuat keluar dalam kondisi tegak lurus, bahkan sedikit mengacung keatas.
Kepala penisku lebih besar dari batangnya, kelihatan kemerahan dan mengkilat karena dari lubangnya sudah mulai keluar cairan bening agak kental dan lengket. Kalau ukuran batangnya menurutku normal-normal saja, namun karena kepalanya lebih besar secara keseluruhan maka terlihat lebih besar dari ukurannya.
"Hmmm..!!! Besar diujung, pasti hebat permainanmu" komentarnya.
Diusapnya lubang kejantananku dengan ibu jarinya dan diratakannya cairan bening yang sudah keluar diatas kepalanya sehingga kini semakin mengkilat. Diusap-usapnya kepala penisku sampai membesar maksimal. Hujan telah turun dengan deras, udara mulai terasa dingin.
Ibu Heni melepaskan pelukannya. Dengan gerakan pelan, gemulai dan manja ia melepas kaosnya kemudian melepas celana pendek dan celana dalamnya. Tangannya membuka kancing bra-nya dan sebentar ia sudah dalam keadaan bugil. Aku benar-benar tercengang melihat keindahan tubuh yang selama ini hanya ada dalam fantasiku. Perutnya masih terlihat datar dengan gunung kembarnya yang puncaknya kemerahan yang menggantung bebas. Kini kami berdua sama-sama dalam keadaan polos tanpa sehelai benangpun.
Selang beberapa menit kemudian Ibu Heni berkata ditelingaku dengan lirih;
"Kita keatas ranjang.. Sayang..!".
Dengan naluriku tiba-tiba saja aku langsung menyergapnya dan mengulum bibirnya dan dia membalasnya dengan sangat liar, kemudian aku merasa penisku semakin tegak dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku berbaring diatas ranjang, Ibu Heni merangkak diatasku. Dadanya disodorkan kemulutku dan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. Aku tidak tahu apa yang mesti aku lakukan selanjutnya, tetapi Ibu Heni pasti akan memberitahuku.
Tangan dan mulutnya menarik-narik bulu dadaku dengan lembut. Sekali waktu dia menarik terlalu keras karena gemasnya.
Aku terpekik, mulutku menjerit;
"Ouuw..! Pelan sedikit Bu. Sakit..!".
"Habisnya gemas melihat bulu dada kamu Sayang..!" jawabnya genit.
Dia terus memintaku meremas-remas payudaranya dan menghisap putingnya secara bergantian. Kemudian aku disuruh menjilat vaginanya yang basah dan tampak kemerahan, tetapi aku tidak bisa melakukannya karena ada perasaan aneh. Aku belum pernah melakukan oral seks bagian senggama wanita, melihat hal itu ia mengambil inisiatif. Disodorkan selangkanganya kearah mulutku, terlihat bibir vaginanya merekah basah.
“Cium dan jilati punyaku.. Sayang..! katanya sambil pinggulnya menggeliat didepan mukaku.
Aku masih tak mengerti harus berbuat apa, hanya mencium bibir vaginanya yang basah dan sesekali menyentuhnya dengan ujung lidahku. Sepertinya itu tidak memuaskannya, direngkuhnya kepalaku hingga bibirku menempel ketat dibibir vaginanya. Pinggulnya bergerak naik turun sehingga vaginanya bergesekan dengan bibirku. Aku sedikit gelagapan diselangkanganya, hanya sebentar saja dia melakukan itu. Sepertinya dia tahu aku belum pengalaman untuk urusan seks. 
"Kayaknya gantian Ibu yang harus memberikan pelajaran tambahan kamu nih..!!" katanya semakin genit.
Lalu dia mulai menciun dan menjilati seluruh tubuhku dari mulai leher perlahan-lahan turun kebawah dan berhenti disekitar paha. Dia mulai menjilati dua biji zakarku dan melumatnya bergantian.
"Agh.. Ugh.. Ouhh.. Enak Bu.. Ugh..!!!" desahku.
Hemmm..!!!.
Hari ini aku benar-benar mendapat durian runtuh. Hal yang belum pernah kualami akan kurasakan sore ini.
Ibu Heni menggigit bagian dalam pahaku dekat pangkal paha seolah-olah mengingatkan ini bukanlah mimpi tetapi kenyataan yang benar-benar sedang kualami. Dia terus melanjutkan aksinya, kini dia jongkok diatas pahaku.
Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar, memastikan batang penisku benar-benar sudah tegang dan keras siap memasuki liang senggamanya. Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya.
“Angkat pinggulmu..! Ibu mau ganjal dulu pantatmu dengan bantal..!”
Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal dengan bantal dan kemudian pantatnya perlahan mulai bergerak turun. Aku yang masih hijau mengikuti apa yang dimintanya.
“Ibu masukin sekarang Sayang..!!!"
Kemudian pantatnya perlahan semakin turun, Degup jantungku berdetak sangat kencang seluruh tubuhku merinding ketika ujung penisku menempel ketat dibibir vaginanya. Dengan pelan pantatnya semakin bergerak turun menekan kepala penisku masuk kelubang sempit vaginanya, digigit bibir bawahnya seperti menahan sakit sambil terus memutar-mutar pinggulnya. Kepala penisku seperti tertahan dipintu masuk vaginanya, pantatnya semakin kuat menekan kejantananku. Jemari tangannya menggenggam kuat batang penisku agar tidak tertekuk saat ia memaksa masuk kepalanya, sampai kejantananku terasa ngilu dibuatnya. Dan akhirnya,
Sleeeph..!!!.
“Mmmph..! Aah..!” mulutnya mendesah
Kepala penisku kini sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa hangat, basah dan berlendir lubangnya. 
“Dorong Sayang..!! Dorong pantatmu keatas..!!" ia memberi komando.
Dan perlahan penisku masuk kedalam lorong hangat yang belum pernah dilewatinya. Aku merasakan penisku dihimpit oleh dinding-dinding hangat dan basah, sebuah sensasi yang belum pernah kurasakan sebelumnya. 
"Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali rasanya. Goyangkan pinggulmu.. Sayang!!" rintihnya terbata bata.
Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya. Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, Ibu Heni kembali menjerit kecil. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat.
"Ouchh.. Agh.. Ugh.. Ooo.. Yes..!!" desisnya terdengar berulang-ulang.
Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya.
"Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouwh..!!"
Kurasakan jepitan vaginanya semakin erat dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, aku terus mempercepat gerakanku dan mulai merasakan sesuatu terjadi pada tubuhku. Selangkanganku bergetar hebat dan penisku kelonjotan didalam lubang senggamanya.
"Aku.. Bu.. Aku" aku memberontak.
Tubuhku semakin bergetar hebat, gerakannya sudah tak beraturan. Kedua bola mataku sampai terpejam dan kedua tanganku mencengkeram kuat sprei kasurku tak kuat lagi merasakan kenikmatannya.
Ibu Heni tahu aku mau mencapai klimaks, dilepaskannya penisku dari lubang kemaluannya dan kini dikocoknya kejantananku dengan tangannya yang halus.
Creet..!!!. Creeet..!!!. Crooot..!!!.
Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari lubang penisku. Mulutnya mendekat kejantananku dan menampung sperma yang memancar deras. Beberapa percikannya sempat lepas dari penjagaan mulutnya.
Kurasakan semprotannya sangat kuat sampai sebagian yang tidak tertampung dalam mulut Ibu Heni membasahi dadaku. Ibu Heni menjilati dan menelan sperma yang tercecer ditubuhku. Kemudian dengan lembut mengurut kejantananku sampai akhirnya mengecil lemas. Aku merasa bersalah karena aku sudah lebih dulu ejakulasi sementara ia belum meraih orgasmenya.
"Maaf Bu, aku tidak bisa menahannya," kataku.
Namun tatapan matanya dan senyum manis dibibirnya menenangkan aku.
"Itu normal Sayang..! Biasa bagi seorang perjaka. Ronde berikutnya aku yakin kamu akan membuat Ibu puas bahkan sampai kewalahan" katanya genit.
"Ibu kok mau menelan sperma saya..?" tanyaku pelan, takut ia tersinggung.
Aku memang pernah dengar katanya ada wanita setengah baya yang menelan sperma perjaka agar awet muda.
"Kata orang sih air mani perjaka bikin awet muda. Aku sih nggak percaya, hanya sekedar ingin melakukan dan menikmatinya saja" jawabnya datar.
Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa-sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Hujan belum lagi berhenti. Situasi seakan mendukung peristiwa sore ini. Hujan mulai reda. Suara titik-titik air jatuh masih terdengar diatas genting. Nafasku sudah normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Ibu Heni masih bersandar diatas dadaku, matanya masih terpejam. Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi.
Ibu Heni membuka matanya, meregangkan tubuhnya dan menguap.
"Ngantuk aku, jam berapa sekarang..?" tanyanya.
Kulihat jam beker diatas meja.
"Lima lewat dua puluh" kataku.
Kupeluk dia lagi dan kuhembukan hangat nafasku dibelakang telinganya. Ia menggelengkan kepalanya. Kuremas dadanya dengan lembut.
"Sudahlah Sayang, aku mau istirahat. Kecuali kalau kau bermaksud untuk..!"
Tanpa menunggu lagi segera melumat bibir indahnya. Lipstiknya sudah pudar, namun rona merah masih membayang.
"Hmmm..! Kuda Arabku rupanya mengajak berpacu lagi..!".
"Kok kuda Arab..?".
"Tubuhmu yang tegap dan dadamu yang berbulu mengingatkanku pada orang India atau Arab".
Kami berciuman lagi, semakin lama semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh keatas lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi.
Tiba-tiba kedua mata kami beradu pandang. Lama kami berpandangan sambil meremas jemari tangan. Nafas kami mulai terasa berat dan degup jantung meningkat. Sementara rintik gerimis masih terdengar dari dalam kamar kostku. Kulihat dari lubang ventilasi diluar mulai gelap. Sayup-sayup kudengar suara orang berbicara dari arah kejauhan. Kelihatannya para tetangga sudah mulai pulang dari aktivitas kerjanya.
Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibirnya itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit lembut dan kumainkan lidahku diatas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah benar-benar menguasai kami berdua. Aku tahu ini sebenarnya tidak boleh, tetapi kami tidak bisa lagi untuk menghentikannya. Terlanjur basah, semua telah terjadi, kataku dalam hati.
Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini jenjang leher Ibu Heni menjadi sasaran berikutnya. Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kucupang lehernya itu, kalau tidak ditepis oleh tangannya.
"Jangan Sayang..! Nanti kelihatan" bisiknya.
Kemudian kujilat daun telinganya sambil kubisikkan sesuatu. Ia mengangguk dan tertawa kecil. Kupandangi tubuh indah itu agak lama. Lidahku mulai memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu. Pelan-pelan kaki kanannya kuangkat dan kuletakkan diatas perutku.
Dengan posisi terlentang berdampingan jemari tangan kiriku memainkan bulu-bulu halus disekitar vaginanya. Kadang kutarik pelan. Jemariku merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Ibu Heni melenguh-lenguh tanda dia terangsang.
"Ahh.. Ouuhgh.. Ennaak.. Ssshh.. Nikkmaatt.. Teruss Sayang..".
Kakinya kuturunkan, dengan penuh nafsu serangan kulanjutkan. Lidahku sudah berada dilipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Sejenak aku kembali ragu apakah akan kuteruskan atau tidak. Kudekatkan hidungku disela-sela pahanya. Tidak ada bau yang tidak sedap, kalaupun ada sekilas tercium aroma segar yang khas dari tubuh setiap wanita.
Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah agak basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali mencolek daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil. Selangkangan Ibu Heni bergetar kuat dan mulutnya mulai meracau.
"Hmmph.. SShh.. Ngghh.. Akhh. Hmmph..! Pintar kamu Sayang. Berputar.. Berputar".
Aku tidak tahu apa maunya, tapi tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya kearah mukanya. Kuikuti saja kemauannya. Kuanggap saja aku sedang mendapat pelajaran tambahan ilmu bercinta.
Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada diatas mulutnya dan sebaliknya sambil terus melakukan stimulasi disekitar paha pasanganya. Ia lumat penisku sampai habis dalam mulutnya. Dihisap-hisap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas. Gantian aku yang menggelinjang hebat.
Mmmphh..!!!. Sruph..!!!. Sruph..!!!.
Penisku terus dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Berguling kearah samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada dibawah.
Rupanya dengan posisi ini ia lebih mudah menikmati penisku. Aku pun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Ibu Heni menggelinjang penuh kenikmatan ketika kujilat dan kugigit klitorisnya. Dan sebaliknya, Ibu Heni semakin gencar menyerang penisku dengan mengulum dan sesekali memberikan sedotan kepala penisku.
Tetap bertahan dalam posisi ini sampai beberapa menit. Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk ditepi ranjang. Ditariknya tanganku. Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku, hingga kami jatuh keatas karpet dilantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan semakin gencar menciumku, sampai aku kesulitan mengambil nafas. Suara kecipak ciuman mulut kami semakin keras. Kami saling sedot, menjilat dan mengusap badan pasangannya.
Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan mengangkatnya kembali keatas ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih;
"Jangan Sayang.. Jangan. Lebih nikmat dibawah.. Dilantai ini saja".
Kembali kurebahkan tubuhnya diatas karpet. Kutindih tubuhnya dan ia membuka kedua kakinya lebar-lebar, memberiku ruang diselangkangannya. Kucoba untuk menerobos lubang senggamanya, meleset, kucoba lagi meleset lagi sampai tiga kali. Kepala penisku sudah menyentuh dan masuk bibir vaginanya, tetapi setiap kali kudorong batangnya terlipat dan terlepas kelur lagi, maklum belum pengalaman. Ibu Heni merintih minta agar aku segera memasukkan penisku.
"Asupkeun.. Sayang.. Masukin sekarang!".
Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan kelubang vaginanya yang merekah basah. Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk kedalam bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan kuat pantatku dengan kedua tangannya.
"Dorong Sayang..! Dorong kuat-kuat pantatmu" desahnya.
Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas didalam liang senggamanya. Ia berteriak agak kuat, kututup mulutnya dengan telapak tanganku. Aku takut suaranya terdengar sampai keluar kamar. Ia menggoyangkan kepalanya kekanan-kekiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan. Aku masih diam saja, menunggu aba-aba darinya.
"Goyangkan Sayang..! Naikkan sedikit dan turunkan lagi pantatmu. Kocok batangmu dalam lubangku" desisnya membimbingku.
Kugerakkan badanku mendatar naik-turun kearah kepala dan kakinya. Tapi sepertinya bukan itu yang dia mau.
"Bukan.. Bukan begitu, naik turun.. Yaa.. Gerakkan naik tu.. run, seperti mem.. momm.. paahh!"
Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh diluar baju, bisa kelihatan orang nantinya.
Gelang kakinya mengeluarkan bunyi gemerincing.
Crik..!!!. Criik..!!!. Criiik..!!!. Seirama dengan gerakannya.
Semakin cepat gerakannya, maka bunyi gelang kakinya semakin sering terdengar. Terasa indah sekali ditelingaku. Dan sampai pertemuan terakhir nanti dengannya aku sangat senang kalau mendengar bunyi gelang kakinya. Ada suatu gairah yang tersembunyi dibalik suara itu.
Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil. Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku dipayudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada dilehernya maka tanganku meremas payudaranya. Ia mengimbangi dengan gerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat.
Kutambah kecepatan permainanku karena aku merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku. Kugoyang, kugenjot dan kukocok terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Kusemprotkan spermaku kedalam vaginanya dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya.
Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut. Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan hanya beberapa detik ketika penisku masih berdenyut, Ibu Heni kemudian mendapatkan orgasmenya. Hampir saja ia ketinggalan lagi. Kulihat ia akan berteriak dan kusumbat dengan mulutku karena aku pun rasanya juga akan berteriak sambil memperketat pelukanku. Penisku terus berdenyut-denyut dan kurasakan dinding vaginanya juga berdenyut. Kedua kakinya terangkat keatas dan bergerak-gerak seperti mendorong udara.
Semenit berikutnya kami berpagut mesra. Hingga akhirnya ia mendorong tubuhku kearah samping.
"Apa kataku tadi, hanya sekali diajarin kamu pasti sudah pintar" katanya sambil mencubit lenganku.
Sambil kubopong badannya, kami masuk kedalam kamar mandi dan membersihkan tubuh kami. Didalam kamar mandi kami masih sempat untuk saling mencubit dan saling menggelitik perut. Sebentar kemudian kami sudah mengenakan pakaian kami kembali.
"Bu.. Bu Heni" panggilku.
"Mmmhh..!" jawabnya manja.
"Ada satu rahasia yang mau kuungkapkan. Aku sebetulnya sering mengintip setiap kali Ibu menyapu halaman" godaku.
"Ahh..! Kamu nakal..!!" sungutnya sambil mencubit lenganku keras-keras.
"Kalau hanya kita berdua dan nggak ada orang lain boleh enggak aku memanggilmu dengan nama ‘Hanny’ tanpa sebutan Ibu..? Rasanya lebih enak diucapkan dan didengar" tanyaku.
Ia tersenyum dan mengangguk.
"Terserah kamu Sayang" katanya.
“Bagiku nama Hanny terdengar lebih manis dan mesra”.
Canda dan tawa dengan bisikan tertahan berakhir sampai dia permisi pulang dan kulihat hujan sudah agak reda, langit sudah gelap. Sebelum keluar pintu dikecupnya pipi dan bibirku. Aku membalasnya lagi dengan penuh gairah dan dadanya kuremas agak kasar. Ia mendorongku pelan sambil berbisik manja ditelingaku;
"Sudah dulu Sayang..! Kutunggu kamu lain waktu".
Ia keluar dari kamarku, setelah mengintip keluar beberapa saat sampai ia yakin tidak ada orang yang melihatnya keluar dari kamarku. Malam itu aku tidur telanjang dan masih membayangkan Ibu Heni ada disisiku.
Esok paginya aku bangun dan kulihat seperti biasa Ibu Heni menyapu halamannya. Kali ini kubuka kaca nako jendelaku. Ia melihatku dan terus menyapu kearah kamarku dengan membiarkan leher dasternya tergantung. Kulihat buah dadanya menggantung bebas tanpa ditutupi bra. Kuberikan isyarat dengan gerakan kecupan pada bibirku. Ia tersenyum dan membalas dengan gerakan yang sama.
Emmmuackh..!!!.
***Bersambung: Chapter: 3

POSTING BLOG TERPOPULER