PERHATIAN : SITUS INI KHUSUS UNTUK USIA DIATAS 18 TAHUN ... MATERI DALAM SITUS INI BERISIKAN KONTEN-KONTEN UNTUK ORANG DEWASA ... BAGI ANDA YANG MASIH DIBAWAH BATAS KETENTUAN USIA DIMOHON TIDAK MENGAKSES SITUS INI..!!!. TERIMA KASIH

Aku Dipaksa "Melayani" Bu Lik Part:1

Aku Menyerah Pada ‘Pelajaran’ Bu Lik
Waktu itu aku masih kelas 6 SD. Umurku masih 12 tahunan. Sejak kelas 1 SD aku ditipkan kepada ‘Bu Lik’ (Bibi/Tante) karena semenjak bercerai, Bu Lik tidak ada yang menemani kecuali para pembantunya. Bu Lik ini orang yang cukup terpandang di kampung kami. Sebenarnya dari garis Bu Lik (tentu saja dengan ayahku) masih ada hubungan dengan Keraton Surakarta. Karena itulah soal “unggah-ungguh”, sopan-santun dan tata krama sangat dipegang oleh Bu Lik, termasuk ketika berhadapan dengan orang lain, terutama tetangga dan para pembantunya. Orang menjadi segan, cenderung takut kepada Bu Lik. Dia punya toko yang menjual aneka hasil bumi. Tokonya sangat besar. Karena itu Bu Lik mempekerjakan beberapa pegawai. Mereka adalah warga di sekitar rumah Bu Lik. Jika toko tutup sekitar pukul 4 sore, para pegawai pulang. Sehingga rumah besar ini menjadi terasa sepi dengan lima penghuni. Aku, Bu Lik, dan tiga pembantu. Para pembantu adalah Mbok Sum, perempuan berumur 43 tahunan. Juru masak dan cuci. Lalu Yu Nem, umurnya sekitar 30 tahunan, dan seorang lagi Yu Marni, umur 17 tahunan. Selain membantu pekerjaan di toko, Yu Marni juga disekolahkan Bu Lik karena orang tuanya tak mampu membiayai. Mereka sudah lama ikut Bu Lik. Yu Nem tugas utamanya melayani Bu Lik dan aku, mulai dari menyiapkan air buat mandi, nyiapin pakaian, sampai “tata dhahar” (menyiapkan makan). Karena itu aku lebih dekat dengan Yu Nem dari pada dengan Mbok Sum atau Yu Marni.
Karena merasa kesepian itulah Bu Lik meminta pada ayahku agar aku ikut dia. Tiga anak Bu Lik yang seluruhnya perempuan ikut mantan suaminya (Pak Lik=Om/Paman). Ketiga sepupuku itu tak pernah sekali saja datang ke rumah Bu Lik meskipun rumah mereka tidak jauh-jauh amat. Masih satu desa. Mungkin karena sifat Bu Lik yang amat keras, sehingga mereka lebih dekat sama Pak Lik dan memilih tinggal bersamanya.
Aku tidak tahu apa yang menyebabkan Bu Lik bercerai. Mungkin karena watak Bu Lik yang keras sehingga Pak Lik tidak tahan. Pak Lik itu dari keluarga biasa. Maksud saya tidak punya darah keraton sehingga kadang-kadang dipandang sebelah mata oleh Bu Lik, meskipun Pak Lik sebenarnya juga cukup kaya. Dia punya dua perangkat gamelan, dan dua kotak wayang kulit yang sering disewakan. Juga punya dua buah truk yang disewakan untuk angkutan barang.
Bu Lik umurnya waktu itu sekitar 40 tahunan. Rumah Bu Lik sangat besar dengan halaman yang luas. Selain toko juga ada gudang yang cukup besar untuk menampung aneka hasil bumi. Sedangkan halaman depan seringkali digunakan untuk menjemur hasil bumi basahan yang baru dibeli dari para petani seperti gabah padi, kacang, kedelai, dan sejenis biji-bijian lain.
Aku menempati kamar tersendiri bersebelahan dengan kamar Bu Lik di belakang pendopo. Sedangkan para pembantu berada di ruang belakang.
Sebagai bocah yang baru tumbuh menginjak remaja aku belum mengenal hubungan antara perempuan dan laki-laki. Karena itu gosip-gosip yang sering dibisikkan oleh para pembantu dan pegawai Bu Lik tak pernah kupahami sepenuhnya, dan tak aku hiraukan. Mereka sering membincangkan Mas Bambang, masih terbilang familiku yang dulu tinggal bersama Bu Lik. Tetapi kemudian pindah. Para pembantu menyebut Mas Bambang diusir oleh kakak-kakak Bu Lik karena ada main dengan Bu Lik. Waktu itu aku benar-benar belum paham.
Pada suatu malam, sehabis belajar, aku berangkat tidur. Belum lagi terlena, Bu Lik datang, lalu rebahan di sebelahku. Sebenarnya ini hal biasa. Bu Lik sering tidur di sebelahku. Istilah Jawanya “ngeloni”, seperti halnya ibu kepada anaknya. Apalagi kalau siang hari. Sebagai bocah aku paling tidak suka disuruh tidur siang. Seringkali kalau disuruh tidur siang aku mencuri-curi kesempatan, kabur dari tempat tidur dan bergabung dengan teman-teman bermain. Karena itu Bu Lik “ngeloni” aku sampai aku benar-benar terlelap, baru kemudian Bu Lik kembali menjaga toko. Sedangkan jika malam hari setelah aku tertidur “dikeloni” Bu Lik, dia lalu pindah ke kamarnya. Itu dilakukan sejak aku kelas 1 sampai kelas 3. Begitu aku kelas 4 Bu Lik tidak lagi “ngeloni”. Hanya sesekali saja dia tidur di kamarku.
“Sudah bobok Gus..?.” tanya Bu Lik.
“Dereng (belum) Bu Lik…” sahutku dalam bahasa Jawa kromo. Kesehariannya aku memang berbahasa kromo inggil terhadap Bu Lik.
Bu Lik memeluk pinggangku, lalu ujung dengkulnya menumpang ke perutku.
“Sudah ngantuk..?.” hidung Bu Lik menempel di pipiku.
“Iya Bu Lik…”
Aku memang sudah mulai merasakan sangat ngantuk.
“Bu Lik mau nanya…” Bu Lik mempererat pelukannya.
“Nanya apa Bu Lik..?.”
Aku mencoba beringsut dari tindihan kaki Bu Lik. Kini kaki Bu Lik agak turun, sehingga tepat di atas penisku. Malah tambah sakit, tapi lebih enak dari pada menindih perut.
“Kamu sudah berani sunat (dikhitan)..?.”
Aku tidak segera menjawab. Banyak teman sebayaku yang sudah dikhitan. Dan kayaknya memang aku sudah saatnya. Tetapi aku memang masih rada takut. Pengin sih segera dikhitan. Kadang teman-teman mengolok-olok laki-laki sebayaku yang belum dikhitan. Tapi membayangkan penis “dipotong” aku jadi ngeri dan takut.
“Gimana ya Bu Lik..?.” kataku pelan.
“Seumurmu memang sudah saatnya Gus..” sahut Bu Lik.
Sedikit informasi, aku biasa dipanggil Gus di rumah Bu Lik. Ini bukan nama, cuma sapaan. Sapaan lengkapnya Den Bagus. Seluruh pembantu dan pegawai Bu Lik memanggilku “Gus” seperti diajarkan Bu Lik.
Tiba-tiba tangan Bu Lik menerobos ke dalam celanaku. Memegang penisku, sedikit meremasnya. Aku agak kaget. Tapi Bu Lik segera berkata;
“Sudah seberapa besar rupanya ‘peli’ (penis) anakku..” Lalu Bu Lik mengelus-elusnya.
“Geli Bu Lik…” aku menyingkirkan tangan Bu Lik.
“Bu Lik cuma pengin tahu seberapa besar.. Sudah pantas belum disunat.. Kalau masih kecil yaaa.. ndak usah disunat dulu..” katanya.
Aku agak tenang dan kubiarkan tangan Bu Lik mengelus penisku. Elusan lembutnya membuatku keenakan. Lama-lama penisku bangkit. Tapi kemudian Bu Lik menarik tangannya dari dalam celanaku. Tangan Bu Lik kini mengocok penisku dari luar celana. Rasanya enak sekali. Baru kali ini aku merasakan yang seperti itu. Badanku gemetaran. Bu Lik menciumi pipiku. Sementara tanganya masih mengocok penisku semakin cepat. Beberapa saat kemudian aku merasakan nikmat yang luar biasa. Berasa mau pipis.
“Eehhh….aduh.. emmhhhf..” Aku mereggang.
Mecoba menahan agar pipisku tak keluar, tapi sepertinya sia-sia saja. Kedua tanganku mencengkeram kain sprei kasur, dan tanpa aku sadari, aku benar-benar “kencing”. Kurasakan celanaku basah sampai tembus diluar, bahkan tangan Bu Lik ikut basah oleh air “kencingku” itu.
“Hmmhhh.. Tuh kan Gus.. sudah gede.. sudah bisa ‘ngaceng’ (ereksi) peli kamu.. berarti sudah pantas disunat.. minggu depan waktu liburan kamu sunat yaaa..” kata Bu Lik.
Aku hanya mengangguk tersipu malu, pikiranku masih terbayang dengan apa yang baru saja ku alami. Aku belum mengerti apa yang terjadi dengan penisku, seperti pipis tapi tidak lancar. Tersendat-sendat tapi sangat nikmat dari-pada pipis biasanya.
“Yaa.. sudah sana dibersihin ‘peli’ kamu.. terus ganti celana..”
“Iya.. Bu Lik..” jawabku.
Setelah selesai aku kembali ke dalam kamar, kulihat Bu Lik sudah tertidur di atas kasurku. Aku merebah disampingnya, kurasakan tubuhku sangat lelah. Hingga tak berapa lama aku tertidur pulas disamping Bu Lik.
Seminggu setelah kejadian malam itu, saat liburan setelah selesai ujian akhir sekolah. Tiba waktunya aku disunat. Sebuah pesta besar digelar oleh Bu Lik untuk merayakan acara khitanan-ku. Kedua orang tua ku, seluruh keluarga dan kerabat hadir menyaksikan penisku disunat, dan satu persatu mereka melihat penisku setelah selesai di’potong’ oleh seorang Mantri. Seperti tak ada rahasia lagi dalam diriku, ‘barang’-ku yang sangat pribadi jadi tontonan semua orang dari perempuan sampai laki-laki, dari anak-anak, orang dewasa sampai orang tua. Ku lihat Bu Lik sangat bangga di depan keluarga dan para tamu-tamu, karena telah berhasil mengkhitankan ‘anak’nya ini.
Lima hari berlalu sudah dan luka khitanan pada penisku telah betul-betul sembuh. Sepertinya tak jauh berubah bentu penisku, hanya kulit yang biasa menutup ujung penis itu hilang. Sehingga tampak jelas sekarang bentuk kepala penisku yang bulat, lembut dan halus-mulus.
***
Malam itu aku tiduran diatas kasur kamar, pikiranku kembali teringat saat tangan Bu Lik nikmat mengelus dan mengocok penisku. Ingin rasanya merasakan lagi, tapi aku tak berani bilang sama Bu Lik. Kucoba mengelus-elus sendiri penisku tapi tak se-enak elusan tangan Bu Lik. Segera kusingkirkan tanganku dari penisku saat kudengar suara Bu Lik masuk dari pintu kamarku yang memang biasa tak terkunci.
“Haa-yoo.. lagi apa Gus.. lagi mainan ‘peli’ barunya.. yaaa..” sapa Bu Lik.
“Ngg.. nggak kok Bu Lik.. lagi tiduran aja kok” jawabku menghindar.
“Hmmhhh.. coba Bu Lik lihat peli kamu jadi apa ndak..”
“Ahh.. jangan.. malu Bu Lik.. emang jadi apa Bu Lik..” jawabku kebingungan.
“Kok malu.. kan sudah banyak yang lihat Gus.. waktu disunat kemaren.. yaaa.. kalo habis disunat jadi ‘kontol’ (penis).. ‘peli’-nya orang gede..” jawab Bu Lik enteng.
Benar juga kata Bu Lik, penisku kan sudah dilihat orang banyak. Dan sekarang sepertinya bukan jadi ‘barang’ rahasia buatku, lagian kalo gak nurut kata Bu Lik pasti Dia marah. Kemudian ku pelorotkan celana dan CD sebatas lutut, hingga dapat telihat jelas oleh mata Bu Lik penisku yang masih tertidur.
“Hmmhhh.. sempurna bentuknya Gus.. sudah jadi ‘kontol’ rupanya ‘peli’ anakku..”
Aku hanya tersenyum malu-malu mendengar kata-kata Bu Lik.
“Sekarang Bu Lik coba yaa.. berfungsi apa ndak kontol kamu.. Gus..”
“Maksud Bu Lik..?.” tanyaku.
“Sudah.. ikuti saja kata Bu Lik..”
Aku hanya mengangguk saja, masih tak mengerti dengan yang dimaksud Bu Lik.
Lalu ia menyingkap dasternya. Tampak olehku pahanya yang putih dan bokong Bu Lik yang tebal. Dia melepas celana dalamnya.
“”Mau apa Bu Lik-ku ini..?.””
Sebelum ini aku cuma sekali melihat Bu Lik setengah bugil, ketika dia agak masuk angin dan dikeroki sama Mbok Sum. Itu pun aku cuma melihat sekilas saja.
“Eehhh….” Aku bergumam.
Bu Lik menempelkan telunjuk di mulutnya memintaku diam. Aku langsung terdiam, agak takut. Kemudian Dia mendekat ke-arahku yang masih terduduk diatas kasur, dan ia pun naik ke-pangkuanku. Sebelah kakinya mulai menindihku. Aku merasakan rambut kemaluan Bu Lik menggesek kakiku. Lembut sekali. Lama Bu Lik melakukan itu. Tanganku dibimbingnya ke arah dada Bu Lik.
“Diremas-remas.. yaa.. Gus…” katanya.
Aku meremas payudara Bu Lik. Nafasnya memburu di ujung telingaku. Lalu Bu Lik beringsut ke bawah pangkal pahaku, dan sesaat kemudian kurasakan penisku berada di mulutnya. Dia mengulumnya seperti mengulum es lilin. Suaranya berciap-ciap. Beberapa saat kemudian aku merasakan nikmat yang luar biasa. Berasa mau pipis, seperti saat Bu Lik mengelus dan mengocok penisku sebelum disunat dan kali ini lebih nimat dalam kuluman mulut Bu Lik. Aku mencengkeram rambut Bu Lik, dan sekarang kembali aku benar-benar “kencing” bahkan di mulut Bu Lik. Dia menelannya dengan rakus. Setelah itu hening. Aku lelah sekali, dan tertidur sampai pagi.
Ketika terbangun, aku lihat Bu Lik tidur di sebelahku. Aku beranjak ingin mandi karena badanku terasa kotor dan lengket. Dan Bu Lik pun terbangun.
“Gus….” ia memanggilku.
“Ya Bu Lik…”
“Ndak usah cerita ke siapa-siapa soal tadi malam. Ngerti kamu..?!!.” suaranya seperti menghardik.
Aku mengangguk, lalu menuju ke kamar mandi. Sepertinya aku tidak perlu bertanya apakah penisku berfungsi atau tidak.
Dua malam berikutnya Bu Lik kembali tidur di kamarku. Hatiku berdebar-debar.
“Pengin seperti kemarin ndak Gus..?.” tanyanya.
“Ndak Bu Lik, takut nanti pipisin Bu Lik lagi..” jawabku.
Bu Lik malah tersenyum manis.
“Ndak apa-apa.. Itu bukan pipis.. Itu namanya kamu lagi ‘mbonjrot’ (ejakulasi).. Itu artinya kamu keluarin ‘pejuh’ (sperma).. air tanda kamu sudah dewasa.. Makanya Bu Lik telan..”
Aku tak mengerti penjelasan Bu Lik. Sebagai bocah desa dan dalam kungkungan feodalistik, aku memang tidak mengerti soal-soal seks.
Sesaat kemudian Bu Lik merogoh penisku.
“Anakku sudah besar.. sudah dewasa..”
Bu Lik mencium pipiku. Penisku mulai menegang.
“Cium susu Bu Lik ya Gus..?.”
Tanpa menunggu jawabanku Bu Lik mengangsurkan susunya ke mulutku. Aku menurut dengan perasaan galau. Aku isap-isap payudara Bu Lik yang cukup besar, bulat dan kenyal. Tangan Bu Lik meremas-remas penisku. Lalu tanganku dibawa ke bawah, ke bagian selangkangan Bu Lik.
“”Ouwwhhh.. Bu Lik tidak mengenakan celana dalam.””
Aku sedikit menolak, tetapi Bu Lik memaksa. Awalnya aku merasa agak jijik. Maklum “tempik” (vagina) adalah kosa kata yang hanya aku dengar ketika orang mengumpat atau memaki. Dalam pikiranku tempik adalah benda yang amat menjijikkan. Aku hanya mengenalnya sebagai alat untuk perempuan kencing. Pernah juga aku dengar tempik untuk bersenggama tapi aku tidak paham bagaimana caranya.
“”Apa seperti kerbau kawin..?.””
Kini tanganku berada di tempik Bu Lik.
Rasa ingin tahu membuatku membiarkan tanganku terdiam di selangkangan, dalam genggaman Bu Lik. Tanganku digesek-gesekkan.
“Lakukan Gus…”
Kata Bu Lik dengan suara berat seperti perintah. Aku mengelus tempik Bu Lik. Lembut, basah dan berair.
“”Iihhh jijik. Ingin menghindar, tetapi takut sama Bu Lik..””
“Ohhh Gus… enak.. Teruskan Gus..”
Entah bagaimana, jari tengahku terjerembab ke dalam tempik Bu Lik. Masuk, masuk lebih dalam lagi dan Bu Lik mengempitnya. Bokong Bu Lik bergerak-gerak tak karuan.
“Aduh.. Sakit Bu Lik..”
Aku mengaduh oleh jepitan tempik Bu Lik. Tangan aku tarik. Bu Lik naik ke badanku. Lalu menusukkan penisku ke dalam tempiknya. Aku sering mendengar teman-teman sebayaku mengumpat dengan kata “laki” (senggama/ngentot) jika sedang marah. Sama seperti makian “Anjing”, “Bangsat”. Laki kami anggap hanya dilakukan oleh orang-orang jahat atau hewan. Aku juga pernah melihat orang mengawinkan babi. Lalu sesudahnya teman-temanku saling olok;
““Kowe laki karo Sri yo..?. Koyo babine Mbah Wongso.. (Kamu ngentot sama Sri ya..?. Kayak babi-nya Mbah Wongso).””
Dan kini aku melakukannya dengan Bu Lik. Perasaan jijik dan berdosa serta-merta mengusir nikmat. Tak lama kemudian kurasakan penisku keluar dari tempik Bu Lik. Perempuan itu meraih dan memasukkan kembali ke tempiknya. Tapi dia kaget. Penisku sudah layu. Mengkerut. Bu Lik mencoba membangkitkan kembali dengan menarik-narik, tapi sia-sia. Aku semakin takut. Bu Lik menampar penisku.
“Kok kayak gini to Gus..?.” suaranya berat dan kembali menampar.
“Kontol kok cepet loyo. Kontol opo iki..?.” Ia terus menampar.
“Aduh.. Sakit.. Ampun Bu Lik..”
Dia turun dari tubuhku. Ketakutan yang luar biasa membuatku menangis, menelungkupkan badan. Kusembunyikan wajahku ke dalam bantal.
“Ohhh anakku.. maafkan Bu Lik..” aku dipeluk.
Dipakaikannya kembali celanaku, kemudian Bu Lik mengenakan kembali seluruh pakaiannya. Aku pun tenang dan terlelap.
Malam berikutnya berlalu dengan aman. Bu Lik tidak menyusul ke kamarku. Dia bersikap amat manis dan penuh perhatian, Tampaknya Bu Lik merasa telah berdosa kepadaku. Mungkin karena aku mendadak jadi amat pendiam. Aku merasa amat malu kepada diri sendiri. Juga malu kepada teman-teman sebayaku. Aku jadi malas bermain. Para pembantu, terutama Yu Nem bertanya kenapa aku berubah, tetapi aku tidak menjawabnya. Sempat terpikir olehku untuk minta kembali ke orang tuaku. Tetapi demi melihat perubahan sikap Bu Lik, aku jadi tidak tega. Tentu Bu Lik akan kesepian.
“Lagi baca apa Gus..?.” aku tersentak.
Bu Lik duduk di kursi sebelahku.
“Biasa.. buku komik.. Bu Lik..” jawabku. Bu Lik mengelus kepalaku.
“Kamu marah sama Bu Lik ya Gus..?.”
“Ahhh.. ndak kok Bu Lik..” Perempuan ini sekarang berubah sikap 180 derajat. Tidak pemarah seperti kemarin-kemarin.
“Ya sudah.. jangan marah sama Bu Lik ya..?.”
Aku mengangguk dan Bu Lik beranjak dari kursinya. Malam itu Bu Lik kembali ke kamarku, tidur di sebelahku. Memelukku dari belakang. Aku jadi sulit memejamkan mata. Pikiranku kacau-balau. Tangan Bu Lik telah berpindah ke penisku, tetapi tidak bergerak sama sekali. Aku mencoba untuk memejamkan mata. Tetapi entah kenapa, aku merasa nyaman, nikmat. Penisku perlahan-lahan bangkit. Tangan Bu Lik mengelus lembut.
“Kamu sudah mulai dewasa Gus.. Sudah pantas merasakan ‘nlgakeni’ (menyetubuhi) perempuan..”
Katanya lembut masih dengan elusan pelan di penisku.
“Ya.. Bu Lik..”
Tangan itu kemudian masuk ke dalam celanaku. Aku memberinya jalan. terasa makin nikmat.
“Bu Lik tidak akan menyakitimu lagi..”
Bu Lik sepertinya ingin menenteramkanku.
“Di-gini-in Bu Lik enak gak.. Gus..?.”
“Iya.. enak Bu Lik..”
Nafas Bu Lik terasa menderu di belakang telingaku. Sesekali telingaku disentuh dengan bibir dan ujung lidahnya.
“Gusss….”
“Yaaa.. Bu Lik…”
“Kamu …satu-satunya laki-laki di rumah ini. Kamu satu-satunya yang berbeda. Makanya Bu Lik suka. Dulu ada Pak Lik, Bu Lik sering melakukan seperti ini. Tetapi sejak berpisah, Bu Lik tidak pernah lagi. Bu Lik pengin sekali, tetapi tidak ada paman, tidak ada laki-laki selain kamu. Makanya..”
Aku memang tidak mengerti arah pembicaraan Bu Lik, tapi aku merasa iba kepada Bu Lik.
“Bu Lik ingin melakukan seperti ini sesering mungkin..”
“Apa ndak jijik Bu Lik..?.” tanyaku.
Bu Lik lama terdiam. Mungkin tersadar yang diajak bicara hanyalah seorang bocah bau kencur. Lalu dia bertutur panjang lebar tentang hubungan suami-istri sampai akhirnya aku mulai mengerti.
“Nanti kalau kamu sudah punya istri juga akan melakukannya. Ndak seperti babi..”
Bu Lik kembali memegang penisku yang tadi dilepasnya. Elusannya lembut, sesekali seperti menggaruk.
“Tapi.. saya takut Bu Lik..”
Aku beringsut dan menghadap ke arah Bu Lik. Perempuan itu melepaskan tangannya dari penisku.
“”Aneh, aku malah berani mencari tangan itu dan menaruh ke tempat semula. Bahkan kemudian aku melepas celanaku sendiri.””
“Takut apa..?. Sama siapa..?.”
“Ndak tahu Bu Lik.. takut aja..”
“Ndak usah takut.. Ini seperti pura-pura saja. Pura-pura kamu jadi Pak Lik. Pura-pura jadi suami Bu Lik. Kamu sudah dewasa. Kontol-mu sudah cukup dewasa, sudah bisa mengeluarkan pejuh.”
Lalu hening. Hanya nafas Bu Lik yang terasa hangat menyapu wajahku. Sesekali bibir itu menyentuh pipiku.
“Maukah kamu Gus..?. Pura-pura jadi suami Bu Lik..?.”
Entah karena nafsuku mulai memuncak atau karena rasa ibaku, aku mengangguk.
“Mau kan.. Gus..?.”
“Mau Bu Lik..”
Perempuan itu serta-merta melumat bibirku. Aku terperangah. Seumur-umur baru sekali itu aku berciuman bibir. Bibirku masih terkatup menerima goyangan lidah Bu Lik. Perempuan itu tersenyum.
“Coba Gus.. kamu buka bibirmu, dan mainkan lidahmu seperti Bu Lik.”
Kami berciuman.
“”Oohhh.. nikmat sekali..””
Nafsuku makin membara. Bu Lik melempar dasternya, kutangnya, lalu cawet-nya (celana dalam-nya). Ia kini bugil. Aku pun dilucutinya.
“Ayolah Mas.. jadilah seperti Pak Lik.”
“Yaa.. Bu Lik..”
“Panggil aku Dik.. Gus..  Aku istrimu malam ini.. Ayo pangggil Dik…”
“Ya Dik….”
“Oohhh.. Masss.. ciumi tubuhku.. jilati seluruh tubuhku Masss…”
Seperti mendapatkan energi tambahan, aku berani melakukan seperti yang dilakukan Bu Lik. Aku menciumi dan menjilati seluruh tubuh Bu Lik. Hanya ketika Bu Lik mendorong kepalaku ke arah selangkangannya, aku mencoba menghindar. Aku merasa jijik. Tapi jari tengahku dengan ganas mengubek-ubek tempik Bu Lik. Perempuan itu mendesah-desah tak karuan, Dia mendorong tubuhku, membuatku telentang, lalu dengan rakus mengulum penisku. Kini aku yang gelejotan.
“”Luar biasa.. nikmat-nya.””
“Mas.. lakenono aku..(Mas.. entotlah aku..) Sekarang Mass.. Aku ndak tahan..”
“Piye Dik.. (gimana Dik)..?.”
Aku bingung tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Munggaho Mas.. lebokno manukmu neng tempikku.. (naiklah mas, masukin penismu ke vaginaku)..” Aku menaiki tubuh Bu Lik. Lalu tangan Bu Lik membimbing penisku ke lubang tempiknya. Terasa basah. “”Slebbb.. blesss..””
Penis itu telah masuk seluruhnya dalam lubang tempiknya yang basah. Bu Lik mengerang;
“Oohhh.. Masss.. saiki goyangen bokongmu.. (sekarang goyangkan pantatmu)..”
Aku menggoyangkan pantatku. Mengaduk lubang vagina-nya dengan batang penisku.
“Sing banter Mass.. sing cepeett.. (yang banter mas.. yang cepat..)..”
Aku menggoyangkan dengan cepat. Mengaduk lebih lubang vagina-nya dengan batang penisku yang semakin tegang.
“Dikocok-kocok Mass..”
Aku megocok penisku di dalam tempik Bu Lik.
“”Hebat.. Rasanya benar-benar hebat..””
Bu Lik memelukku, lalu melumat bibirku. Pinggulnya bergoyang-goyang ke kiri ke kanan, lalu ke atas mengimbangi gerakanku.
Beberapa menit kemudian, terasa aku seperti ingin kencing. Seperti yang kurasakan kemarin.
“”Oohhh.. Uuhhh..””
Maksudku, aku sangat ingin mengeluarkan pejuh. Gerakanku tak berirama lagi. Menghentakan kocokan cepat penisku di dalam tempik Bu Lik, menusuk-nusuk lebih dalam lubang tempiknya.
“Masss.. ayoo barengke.. (ayo kita bareng..) Keluarkan pejuh-mu yang banyak..”
“Aggrrhhh.. Dikk.. aakhhh..”
“Ouhhhh.. Masss.. sshhh..”
Kami berpelukan erat. Sangat erat. Lalu sama-sama terkulai.
“Mass.. capek..?.” katanya.
Aku mengangguk. tulang-tulangku seperti dilolosi semuanya seluruh tubuh.
“Makasih ya Gus.. sudah selesai kok.. Sekarang kamu panggil aku Bu Lik lagi.”
Aku sudah tak bisa bereaksi. Benar-benar lemas. Perempuan itu tampak membersihkan tempiknya yang basah dengan handuk kecil. Sesekali dia menciumi pejuku. Sepertinya dia sangat menikmati.
“Ingat ya Gus.. ini rahasia.. Jangan pernah bercerita kepada siapa pun... Ngerti..?.”
“Ya Bu Lik..” sahutku lirih.
Perempuan itu juga membersihkan penisku. Lalu kami tidur bugil, sampai saat pagi tiba.
Sejak itulah aku dan Bu Lik rajin ngentot. Kadang-kadang di tengah malam ketika aku sudah tidur lelap, aku sudah dicumbu oleh Bu Lik. Aku juga sering diganggu Bu Lik saat sedang belajar. Bagi yang tidak tahu Bu Lik seperti sedang menungguiku belajar sambil membaca majalah di kursi di depanku. Padahal kakinya sering menggelitik ke penisku. Begitu selesai belajar, kami pun ngentot. Kemampuanku menyetubuhi Bu Lik makin meningkat. Aku makin tahan lama, dan bisa mengatur irama permainan.
Berkat ‘pelajaran-pelajaran’ dari Bu Lik pula aku mulai pintar bagaimana cara ngentot. Aku juga sudah berani menciumi dan menjilati tempik Bu Lik tanpa rasa jijik. Ini memang sebuh proses yang cukup lama, untuk tahu betapa nikmat bersenggama menyetubuhi seorang wanita. Dan kini aku telah tahu semua setiap lekuk-lekuk kenikmatan itu, dan Bu Lik telah menikmati hasilnya dari ‘pelajarannya’ yang diberikan kepadaku. Menjadikanku laki-laki sempurna penuh hasrat yang siap memuaskan dahaga nafsu birahi setiap wanita.
Bu Lik tidak bosan-bosan meyakinkanku bahwa menjilati tempik bukan sesuatu yang hina. Dan memang, tempik Bu Lik beraroma wangi rempah-rempah. Seperti wangi mangir. Aku benar-benar telah menjadi laki-laki sejati. Satu hal yang aku tak bisa lakukan adalah “meminta” kepada Bu Lik. Entah kenapa. Perasaan segan dan takut sulit aku hindarkan, meskipun saat ngentot aku sering memanggilnya Dik dan dia memanggilku Mas. Tetap ada jarak yang sulit ditembus. Aku tetap hormat kepada dia seperti sebelum kami “laki”.
Hubungan layaknya suami-istri itu akan terus berlanjut sampai entah kapan, mungkin sampai Bu Lik tak mampu lagi melayani hasrat birahiku. Aku tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, selama aku masih bisa menikmati hasrat dan gairah ini lebih baik aku jalani apa yang ada sekarang.

POSTING BLOG TERPOPULER