PERHATIAN : SITUS INI KHUSUS UNTUK USIA DIATAS 18 TAHUN ... MATERI DALAM SITUS INI BERISIKAN KONTEN-KONTEN UNTUK ORANG DEWASA ... BAGI ANDA YANG MASIH DIBAWAH BATAS KETENTUAN USIA DIMOHON TIDAK MENGAKSES SITUS INI..!!!. TERIMA KASIH

Manisnya Dunia Serasa Madu Chapter: 7

Tidak terasa sudah hampir setahun aku tinggal disana dan bersetubuh dengan Hanny, tetangga kostku. Aku sudah mulai sedikit "bosan" dengan Hanny. Dalam arti, setiap kali bertemu untuk bercinta rasanya sudah cukup sekali saja aku ejakulasi atau paling banyak dua kali. Terakhir kali bercinta seharian pada minggu lalu kubiarkan ia mengejang sampai empat kali, sementara aku hanya dua kali menembakkan amunisi senjata biologisku. Sepertinya aku merasa butuh selingan dengan wanita lain, sekedar mencari variasi biar aku tidak benar-benar menjadi bosan dengan Hanny-ku. Karena jujur saja, aku juga tak mau kehilangan dia. Selama menjalin hubungan dengan Hanny, sempat kucicipi kehangatan dan kenikmatan tubuh beberapa wanita lain. 
Ini adalah tentang sisi lain kehidupan seks-ku yang menjadi tempat perhentian sementara bagi wanita-wanita yang dahaganya tidak terpuaskan dan gairahnya tidak tersalurkan. Wanita-wanita itu hanya sekedar singgah untuk melepaskan dahaganya. Tidak lebih tidak kurang. Tidak ada rasa asmara atau melibatkan uang. Tentu saja semua itu aku lakukan tanpa sepengetahuan Hanny dan selama itu pula aku tetap mejaga hubunganku dengannya tetap baik-baik saja.
Satu sore sepulang dari daerah Cideng, aku melewati wilayah Tanah Abang yang secara harfiah berarti tanah merah. Dan memang daerah ini dikenal sebagai daerah merah.
Karena haus aku mampir kesebuah kedai dan memesan minum. Didalam kedai ada seorang wanita yang berdandan sederhana, tidak ada riasan wajah menyolok atau pakaian yang mengundang. Aku duduk didepannya.
"Baru pulang kerja, Mas..?" tanyanya ramah.
"Iya..!" jawabku singkat.
Sebenarnya tidak, karena waktu itu aku memang belum bekerja.
Ia mulai memberiku beberapa pertanyaan lagi dengan nada yang ramah, mulai mengarah dan aku dapat menduga ia salah satu wanita yang sedang mencari mangsa. Akhirnya aku tahu namanya, Santi, asalnya Tegal. Tingginya sekitar 155 cm dengan dada cukup besar. Pertanyaan pokok terucap dari mulutnya.
"Istirahat dulu, Mas..?"
Aku pura-pura bodoh dan tidak tahu arah pembicaraannya.
"Istirahat dimana..? Ini juga mau pulang, istirahat dirumah" kataku.
"Ah..! Mas ini. Jangan pura-pura. Kita kekamar yuk..!" ajaknya.
Akhirnya setelah tercapai kesepakatan ‘harga’, singkat cerita kami sudah berada didalam kamar hotel kumuh yang bertebaran disana.
Segera kupeluk dan kucium dia, tapi dia menolak.
"Kita mandi dulu deh Mas!" katanya.
Tumben pikirku, kok ada PSK yang menyuruh tamunya mandi dulu sebelum berkencan. Sepertinya mulai ada kesanku secara khusus terhadapnya.
Pada waktu mandi, kusabuni punggung dan payudaranya kemudian kusiram dengan air dan mulai kusedot putingnya. Ia hanya menggelinjang dan berkata;
"Sabar dulu Mas, nanti saja".
Namun tangannya tidak menolakku, bahkan menyabuni penisku dengan cermat sampai bersih. Tangannya tidak berusaha mengocok selama berada dipenisku, benar-benar hanya menyabuni dan membersihkannya.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, ia segera kupeluk diatas ranjang.
"Ihh Mas ini beber-benar nggak sabaran deh. Tuh kan kalau sudah mandi badan jadi seger!" katanya.
Aku diam saja dan mulai memainkan payudaranya.
"Sebentar Mas, berbaring aja dulu!" katanya sambil menelentangkan badanku.
Diambilnya cologne biasa, bukan merk mahal dan diusapkan didada dan ketiakku.
"Biar harum" katanya ringan.
Aku semakin terkesan dan mulai menikmati tindakannya. Rasanya dengan uang yang kubayar aku bisa mendapatkan lebih dari yang kuharapkan. Setelah itu barulah ia menciumku dengan lembut dan semakin lama semakin kuat menyedot bibirku.
Kini dia mencium dan mengusap dadaku yang berbulu, kemudian terus kebawah dan akhirnya penisku yang masih kecil lemas dihisapnya. Tak lama kemudian penisku membesar terangsang. Sungguh pandai ia memainkan mulut dan lidahnya disekujur penisku. Ia menghentikan aksinya dan berbaring telentang. Aku tahu ia ingin aku segera menyelesaikannya.
Kutindih dan kucium bibirnya. Tak lama kemudian dengan arahan tangannya penisku sudah menembus liang vaginanya. Kurasakan ia membalas dengan penuh gairah setiap serangan yang kulancarkan, aku tak tahu apakah dia benar-benar menikmati atau hanya sekedar servis untuk tamunya. Lima belas menit kemudian tubuhku sudah mengejang diatasnya. Ia tersenyum dan mengajakku membersihkan badan.
Selesai membersihkan badan, masih sempat ngobrol-ngobrol sebentar hal-hal mengenai dirinya. Ketika kutanya namanya hanya nama profesi atau nama sebenarnya, ia mengeluarkan KTP-nya dan menyerahkan padaku. Kubaca, "Rosanti". Sekilas kulihat tanggal lahirnya, berarti ia sekarang dua puluh delapan, sementara aku masih dua puluh tiga. Karena kamar yang disewa memakai sistem sewa per-jam dan kulihat waktu telah habis, kami keluar dan aku segera pulang. Kesan yang muncul padaku, bahwa ia sepertinya menyukaiku lebih dari sekedar PSK dan pelanggan.
Beberapa hari kemudian, pada suatu siang aku lewat Tanah Abang lagi. Hanya sekedar lewat, namun aku berharap dapat bertemu dengan Santi lagi. Ketika berjalan dalam sebuah gang sempit, kulihat dari belakang sepertinya Santi. Kupercepat langkahku dan kusejajarkan dengan langkahnya. Kulihat dari samping ternyata memang Santi.
"San.. Santi ya..? Masih ingat aku nggak..?" tanyaku setelah berjalan disampingnya.
Ia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Menatapku dan mengingat-ingat.
"Mas kan yang minggu lalu sama aku..? Namanya.. Ennggh.." katanya.
Kupotong kata-katanya;
"Anto..!" sahutku.
"Ya, Mas Anto. Baru aku ingat" jawabnya.
"Mau kemana..?" sambungnya.
"Enggak, ini mau pulang, kebetulan lewat sini. Siang-siang kok sudah pulang..?" tanyaku.
"Aku belum pulang dari tadi malam. Sekarang baru bisa pulang dan mau istirahat".
Aku diam dan berpikir sejenak. Melihatku kelihatan ragu dia bertanya;
"Mau istirahat lagi..?"
"Boleh deh..!" kataku mengiakannya.
Dia tidak jadi pulang dan kembali berkencan di hotel yang sama. Kali ini aku ambil sewa kamar selama dua jam. Dengan perlakuan yang sama seperti kemarin ia melayaniku. Setelah kutembakkan spermaku, kami sama-sama berbaring ngobrol sampai waktu habis. Ketika aku mengeluarkan dompet, ia berkata;
"Nanti aja, sekarang kita kerumah kontrakanku yuk!"
Aku ikuti saja kemauannya. Kembali kami ngobrol-ngobrol dirumah kontrakannya. Ia tinggal bersama pemilik rumah dan pemilik rumahnya mengerti dan mau menerima keadaannya. Ketika pulang, kembali kuambil uangku, ia tetap menolak dan berkata;
"Untuk ongkos pulang kamu saja ke Bogor!"
Setelah itu kami sering bertemu. Tapi tidak setiap kali bertemu, lalu bergumul diatas ranjang. Kadang kami hanya ngobrol saja. Kalau tidak ada di hotel, kucari dia dikontrakannya. Santi kadang masih menolak uang pemberianku, tetapi kalau aku lagi ada obyekan kecil, kupaksa dia untuk menerimanya. Dia merasa senang kalau ngobrol denganku.
"Ada yang mau mendengarkan dan mengerti sisi gelap dari kelamnya jalan hidupku" katanya.
Aku selalu memberinya semangat, kalau ada kesempatan untuk berhenti, maka berhentilah dari pekerjaannya sekarang dan membuka usaha atau pekerjaan yang lain.
Suatu ketika aku mencarinya di hotel. Kata penjaga hotel dia sudah pulang belum lama tadi. Kucari kerumah kontrakannya. Ia sedang mandi. Tak lama kemudian ia sudah menemuiku diruang tamu. Ia mengenakan gaun hitam panjang dengan belahan sebelah setinggi lutut. Kakinya memakai sepatu hak tinggi membuat ia semakin menarik. Kupikir-pikir ia mirip dengan Yuni Shara, hanya saja kulitnya lebih gelap.
"Mau kemana. Kok rapi sekali..?" kataku.
"Kebetulan ada kamu. Anterin ke Pasar Minggu yuk. Aku mau beli gelang kaki ditoko emas langgananku. Dulu aku punya, tapi putus dan kujual" jawabnya.
Akhirnya kami berjalan kedepan menunggu Metro Mini yang kearah Pasar Minggu. Panas matahari terasa menyengat kulit. Setengah jam menunggu belum ada juga Metro Mini yang kami tunggu. Cuaca semakin panas.
"Panas, San. Kita istirahat saja dulu yuk. Entar sore aja ke Pasar Minggunya!" ajakku.
Ia setuju. Kami masuk kedalam hotel. Kali ini dia yang memilih kamarnya.
"Kamar yang disudut" katanya.
"Sama aja. Emangnya apa bedanya..?" tanyaku.
Ia tersenyum saja. Setelah mengambil kunci kami masuk kedalam kamar yang dipesannya. Isi dalam kamar tidak berbeda dengan kamar lainnya. Sebuah bed standar, kipas dilangit-langit, lemari dan kamar mandi. Ketika kulihat didinding, ada cermin yang dipasang memanjang sejajar dengan arah bed.
"Ooo, ini toh bedanya..?" kataku.
"Tidak, hampir semua kamar ada cerminnya. Aku tahu beberapa kamar yang dipasang cermin. Dulu-dulu selalu tidak pernah kebagian kamar ini".
Ia membaringkan badannya.
"Tidak mandi..?" tanyaku.
Ia mengeleng.
"Tidak, aku kan baru saja mandi. Kamu saja mandi yang bersih!"
Aku mandi dengan cepat dan yang penting kusabuni penisku sampai bersih. Kulihat sudah mulai membesar tidak sabar lagi untuk segera melepaskan spermanya.
Selesai mandi aku keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk. Kulihat Santi sedang berdiri dan mulai membuka kancing gaunnya. Kupeluk dia dari belakang dan tanganku membantunya melepaskan bajunya. Seperti biasanya ia mengenakan celana dalam dan bra hitam transparan, hingga apa yang ada dibaliknya terlihat membayang. Setelah bra terlepas, kuremas-remas payudaranya dari bagian bawahnya. Kucium leher dan telinga kirinya, tangan kirinya terangkat dan kemudian menarik rambutku. Handukku terlepas setelah tangannya yang lain menarik ikatannya.
Kutekan selangkanganku diatas belahan pantatnya. Penisku yang sudah tegang segera terarah keatas setelah menempel dipinggangnya. Kulepaskan tangannya dan mulutku kemudian menyapu seluruh punggungnya. Dengan gigiku kulepas kaitan bra dan jongkok kugigit karet celana dalamnya, kutarik kebawah dan kuteruskan dengan tangan untuk melepasnya.
Kubopong dan kurebahkan tubuhnya diatas ranjang. Aku berdiri dengan posisi menghadap ranjang dan Santi berbaring miring, dengan lahap menghisap kejantananku. Dijilatnya lubang kencingku, tangan kanannya memegang dan mengocok batangnya sedangkan tangan kirinya memijat-mijat buah zakarku.
"Hhmm.. Terus San. Enak.. Ohh.. Aaagak keraas Saant..".
Setelah beberapa menit merangsang kejantananku, aku melepaskan penisku dari mulutku. Kubuka kakinya lebar-lebar, tercium segar aroma yang khas.
"Mau diapain Sayang..?"
"Tenang aja, Aku juga ingin jilatin milikmu"
"Enggak usah Sayang. Jangan.. Jang.. Ngan!"
Tanpa menghiraukan kata-katanya lagi, aku menjulurkan lidahku menuju lubang vaginanya. Dia hanya bisa merintih.
"Oooh.. Ssshhtt.. Say..!"
Tangannya menjambak rambutku. Lidahku mulai menyetuh klitorisnya. Jambakannya bertambah kuat dan desahannya semakin menjadi.
"Tteeruus.. Saayaanghh.. Ooohh!"
Aku semakin cepat menggerakkan lidahku berputar-putar dan menjilati klitorisnya. Sesekali aku menyedotnya dengan keras. Beberapa detik kemudian kedua tangannya menekan kepalaku dengan kuat sehingga aku sedikit susah bernafas. Aku semakin kuat menjilati klitorisnya.
Kuhentikan gerakan lidahku. Kutindih tubuhnya dan wajahnya kulihat tersenyum. Sambil berciuman, tangan kananku menjelajah keselangkangannya. Dia semakin agresif menyedot bibirku. Bibirku turun kelehernya, kujilat lehernya dan beralih kedadanya. Kuhisap putingnya dan sesekali kugigit belahan dadanya.
"Ssshh.. Say.. Ahh.. Shh..".
Tangan kanannya meraih batang penisku yang sudah mengeras. Kurasakan nafasnya sudah mulai tak teratur. Dia meremas penisku dan mengocoknya. Aku sangat menikmatinya permainan bibir dan tangannya.
Santi melebarkan selangkangannya. Kejantananku yang semakin mengeras kuarahkan kedalam lubang kenikmatannya. Deru nafas sama-sama sudah tidak beraturan. Kucium bibir dan buah dadanya.
"Sekarang masukin saja ya!" katanya.
Dibimbingnya kejantananku menuju lubang vaginanya.
Sleeeph..!!!. Blesshh..!!!.
Aku mulai menggerakkan pantatku.
Croph..!!!. Crooph..!!!. Croooph..!!!.
Bunyi diantara selangkangan kami mulai mengeras. Santi semakin meracau.
"Ehhnaakk.. Terus yang keraas Saayaanghh.. Ahh,"
Kugerakkan pantatku semakin cepat hingga kejantananku terasa mentok dirahimnya. Santi membalas dengan gerakan memutar pinggulnya. Kakinya menjepit pinggulku, tangannya mejepit leher dan meremas rambutku. Kami lakukan beberapa menit dengan mengatur tempo gerakan. Kalau desiran dipenisku sudah terasa meningkat aku menurunkan tempo, setelah agak menurun maka kutingkatkan, kugenjot dengan cepat.
Kulirik bayangan dicermin. Aku seperti melihat film dengan diriku menjadi aktornya. Tubuhnya yang mungil tenggelam dalam pelukan dan genjotanku.
"Sudah.. Saayaanghh. Aku tidak kuat lagi!" jeritnya sambil mengetatkan jepitan kakinya.
Aku dalam kondisi gairah yang memuncak, tinggal menunggu saat yang tepat dan kurasakan inilah saatnya. Gerakan badan dan pantatku semakin cepat, pinggulnya semakin liar berputar-putar.
"Santii.. Eeeghk.. Aku.. Mauu.. Keelluuaarr.. Ahh..!!"
"Ahh.... Saayaanghh... Sekaranghh".
Kutahan gerakan pantatku ketika dalam posisi naik. akhirnya aliran sperma yang tertahan meledak. Kutindih tubuhnya dengan kuat. Ia mengendorkan jepitan pada pinggangku, betisnya membelit dan mengait betisku. Pantatnya naik menyambut kejantananku yang menghujam cepat. Penisku masih berdenyut didalam vaginanya dan menyemprotkan sisa-sisa spermaku.
Tubuhku terkulai lemas dan rebah disampingnya, menikmati sisa-sisa kenikmatan bersamanya. Sebentar kemudian kami mandi dan berkemas berangkat ke Pasar Minggu mengantar Santi membeli gelang kaki.
Ketika pada suatu hari aku mampir kerumah kontrakannya dia bilang mau menikah dengan seorang pengusaha toko sepatu. Namun dia tidak bilang kapan waktunya. Aku mendukung rencananya untuk menikah. Kuberikan kartu namaku dan kukatakan;
"Hubungi aku kalau kamu ada apa-apa!".
Beberapa minggu kemudian, ketika kucari di hotel tempat dia mangkal tidak ada dan saat aku kerumah kontrakannya, Bapak pemilik rumahnya bilang ada titipan pesan untukku kalau dia sudah menikah.
Setelah itu lama aku tak bertemu dengannya lagi, karena kesibukan kuliahku yang sedikit padat dan mengisi jadwal kegiatan bersetubuh dengan Hanny.
Santi juga tidak pernah menelponku. Kupikir sudahlah, biarlah dia bahagia dengan kehidupan barunya.
***Bersambung: Chapter 8

POSTING BLOG TERPOPULER