PERHATIAN : SITUS INI KHUSUS UNTUK USIA DIATAS 18 TAHUN ... MATERI DALAM SITUS INI BERISIKAN KONTEN-KONTEN UNTUK ORANG DEWASA ... BAGI ANDA YANG MASIH DIBAWAH BATAS KETENTUAN USIA DIMOHON TIDAK MENGAKSES SITUS INI..!!!. TERIMA KASIH

Aku Dipaksa "Melayani" Bu Lik Part:2

Pelepas "Dahaga" Yu Nem Pembantuku
Setahun sudah kujalani hubungan layaknya suami-istri dengan Bu Lik. Semakin menggairahkan dan semakin mesra aku dan Bu Lik. Dan membuatku merasa kesepian saat ditinggal Bu Lik kulakan hasil bumi untuk persediaan tokonya, sehari saja ditinggal kadang membuatku merasa sangat kangen sama Bu Lik. Seperti hari itu Bu Lik sedang pergi kulakan hasil bumi, dan aku memilih untuk bemalas-malasan tidur dikamar sambil terbayang saat ‘gituan’ sama Bu Lik dalam mimpiku sampai aku terjaga saat kurasakan sesuatu yang dingin menyentuh kakiku.
”Gus.. bangun, sudah sore.. Mandi dulu.. Ayo.. bangun.”
Aku terbangun. Yu Nem berdiri di ujung tempat tidurku. Tangan kanannya mengguncang-guncang kakiku. Aku meliukkan badan, dan mataku terpejam lagi.
“Heeeh… ayo bangun.. Mandi dulu..”
Yu Nem kembali mengguncangkan kakiku. Aku membalikkan badan. Enak sekali tidurku. Rasanya masih ingin tidur lagi. Kulirik jam dinding menunjuk pukul 4 sore lebih.
“Bu Lik sudah pulang.. Yu..?” tanyaku.
Yu Nem menggeleng, dan kembali memintaku mandi.
“Bu Lik kok belum pulang to Yu..?.” tanyaku.
Yu Nem duduk di tepi ranjang, menungguku untuk beranjak dan mandi.
“Mungkin sampai malam.. Kan kulakan-nya ke Praci-Wonogiri..”
Selain menerima setoran hasil bumi dari para petani, seringkali Bu Lik “hunting” dagangan sampai ke kota-kota kecamatan. Sesekali aku diajak.
“Ayo.. mandi dulu Gus..” kata Yu Nem.
Aku pun beranjak. Yu Nem mengangsurkan handuk, dan aku menuju kamar mandi. Yu Nem mengikutiku.
“Kok sepi..?.” tanyaku.
“Mbok Sum sama Marni lagi nagih..”
Beberapa pengrajin tempe dan tahu seringkali ambil kedelai dari Bu Lik, dan bayarnya beberapa hari kemudian. Para pembantu kami seringkali yang disuruh menagih.
Selesai mandi, ini yang tak aku sangka-sangka, Yu Nem bertanya;
“Kangen sama Ibu ya..?.”
Ibu yang dimaksud perempuan itu adalah Bu Lik. Pertanyaan Yu Nem bernada menyelidik, sedikit meledek. Dia tersenyum penuh arti. Aku menyambar koran, dan duduk di bangku teras. Aku paling senang baca komik serial Tarzan. Biasanya sore begini aku membaca bersama Bu Lik. Yu Nem di sebelahku.
“Ayo cerita dong Gus..” katanya.
“Cerita apa..?.”
“Cerita Gus sama Ibu..” Aku terperanjat.
“Yu Nem tahu kok Gus.. Mbok Sum sama Marni juga tahu… Tapi tenang saja.. rahasianya aman.”
Aku benar-benar mati kutu. Rupanya per-zinahan-ku dengan Bu Lik sudah diketahui ketiga pembantuku.
“Kalau sudah tahu ya sudah.. Napa suruh cerita..” sahutku agak kesal.
Yu Nem malah tersenyum genit. Menatap wajahku dengan sedikit menggoda.
“Pengin denger saja.. Sudah pinter ya Gus..?.”
“Apaan sih..?.”
Aku terus menatap koran, mencoba tak menghiraukan kata-kata Yu Nem. Tapi pikiranku agak kacau.
“Eehhh.. tapi jangan bilang ke Ibu yaa.. kalau kami sudah tahu..” Aku diam saja.
“Bener lho.. Gus.. jangan bilang sama Ibu..” lalu Yu Nem pergi.
Malamnya, aku belajar ditunggui Yu Nem. Dari dulu memang begitu. Kalau Bu Lik kecapekan dan tak bisa menunggui belajar, disuruhnya Yu Nem menungguiku. Waktu kelas satu sampai kelas dua SD perempuan itu malah kerap membantuku mengerjakan PR atau membantuku membetulkan cara membaca. Tetapi setelah kelas enam, dia mulai tidak bisa mengikuti pelajaranku. Maklum, dia cuma sekolah sampai kelas empat SD. Apalagi sekarang aku sudah SMP, jadi Yu Nem cuma menemani saja saat aku belajar. Kalo ada kesulitan ganti Yu Marni yang kadang-kadang membantu belajar atau mengerjakan PR.
Sekitar jam 9 aku mulai ngantuk dan menyudahi belajar. Yu Nem membantu mengemasi buku-bukuku. Aku pun beranjak ke kamar.
“Mau ditemani bobo’ ndak Gus..?.” tiba-tiba Yu Nem bertanya.
Dulu waktu masih umur 7-8 tahun aku sering juga tidur dikeloni Yu Nem. Tapi semenjak kelas lima, aku sudah tidur di kamar sendiri. Entah kenapa, rasanya pengin juga seperti dulu, tidur ditemani Yu Nem. Beda dengan Bu Lik, Yu Nem kalau ngeloni suka sabar. Sering mendongeng sambil mengusap-usap penggungku, dan aku memainkan ujung sikunya. Sampai tertidur.
“Hee.. eEh..” kataku.
Aku merebahkan tubuh di ranjang. Yu Nem juga rebahan di sebelahku. Kami tidur satu bantal karena memang hanya ada satu bantal di tempat tidurku. Aroma perempuan ini belum berubah. Rambutnya berbau minyak cem-ceman. Minyak ini terbuat dari minyak kelapa dicampur daun pandan dan rempah-rempah lain. Dia mengenakan kemeja lengan pendek, dan jarik yang digulung sebatas pusar. Semua pembantuku kesehariannya ya begitu. Jariknya sedikit di bawah lutut.
Yu Nem meraih tubuhku, dan mengelus-elus punggungku.
“Sudah lama ya Gus.. ndak bobok sama Yu Nem..””
Wajahku hanya beberapa inci dari wajahnya. Terasa lembut nafasnya. Bau nafasnya gurih. Rasanya amat menenteramkan.
“Hee.. eEh..” sahutku pendek sambil memejamkan mata.
“Sudah berapa kali ‘gituan’ sama Ibu..?.”
Pertanyaan itu tiba-tiba menyentakkanku, menghilangkan rasa kantuk dimataku.
“Ndak apa-apa.. cerita sama Yu Nem..”
Ia menunggu reaksiku. Tangannya masih mengelus-elus punggungku.
“Sudah ndak ke-hitung ya..?. Ati-ati ya Gus.. nanti kayak Gus Bambang.. ketahuan keluarga terus diusir.. Semua kena malu..”
“Memangnya Mas Bambang juga gituan sama Bu Lik..?.” tanyaku ingin tahu.
Aku memang mendengar selentingan kasus itu. Tapi karena umurku yang belum cukup mampu mencerna pembicaraan orang, aku tidak pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Iya.. Dasarnya Gus Bambang ndak bisa menjaga rahasia.. jadi yaa.. rahasianya kesebar..”
Lalu Yu Nem bercerita panjang lebar tentang skandal Bu Lik dengan Mas Bambang, sepupuku yang berarti juga masih keponakan Bu Lik. Yu Nem juga bercerita bagaimana Mas Bambang pun pernah meniduri Yu Nem dan Mbok Sum.
“Yu Nem kok mau..?.”
“Yaa.. ndak berani nolak to Gus..” jawabnya.
“Berapa kali Yu..?.”
“Ahhh.. banyak..”
Lalu Yu Nem memintaku bercerita tentang perzinaanku dengan Bu Lik.
“Malu Yu.. ahhh..” sahutku.
“Kok malu.. Yu Nem juga sudah cerita.”
Lama aku terdiam.
“Ayo cerita..”
Yu Nem mencubit hidungku.
“Pertamanya dipaksa ya..?.”
“Hee.. eEh..” sahutku.
Yu Nem tertawa kecil.
“Tapi lama-lama Gus yang minta to..?.”
“Ndak.. Ndak berani to Yu..”
“Disuruh cium-cium ‘anu’nya Ibu juga ya..?.”
“Loohhh.. kok.. Yu Nem..”
“Dulu Gus Bambang suka cerita kok..”
Aku heran, kok Mas Bambang bisa cerita ke Yu Nem. Pantesan affairnya dengan Bu Lik terbongkar dan menggegerkan keluarga besar Bu Lik.
“Gus ketagihan ndak,,?. Kalau pas pengin gimana..?. Kan ndak berani minta ke Ibu..?.”
“Ya diem.. Ditahan..”
Yu Nem tertawa terkikih. Mulai berani menggodaku.
“Minta sama Yu Nem aja to Gus.. kayak Gus Bambang..”
“Idiihhh…” tukasku.
Yu Nem malah tertawa kecil.
“Sekarang lagi pengin ndak..?.”
Aku diam tak menjawab pertayaanya yang menggoda.
“Mumpung ada Yu Nem..”
Tapi kalimat itu membuatku tergetar.
“Yu Nem mau kok Gus..”
Tiba-tiba kurasakan elusan Yu Nem terasa aneh. Membuat bulu-bulu di tubuhku meremang. Darahku berdesir. Dan tak kuduga, Yu Nem mencium bibirku. Lembut. Lidahnya menerobos ke dalam mulutku, mencari-cari. Dihisapnya bibirku, dicarinya lidahku. Kami berpagutan. Tangan Yu Nem berpindah ke perutku, mengusap, meremas, dan menerobos masuk ke celana.
“Sama Yu Nem ya Gus..?.”
Tanpa menjawab aku membuka kancing baju Yu Nem, dan mengeluarkan sepasang tetek dari dalam kutangnya. Aku menghisapnya, memilin dan menggigitnya. Yu Nem mendesah-desah. Tangannya meremas penisku. Disingkapnya jariknya hingga menampakkan paha yang padat dan mulus. Dia lepas CD-nya, dan meraih tanganku, dibawanya ke selangkangan. Lalu dilepasnya celanaku.
Terasa penisku masuk ke dalam mulut hingga terdengar bunyi yang menggairahkan.
“Crophhh.. cruphh.. slurphhh..”
Yu Nem memutar tubuhnya, mengarahkan vaginanya tepat di depan mulutku. Lalu ditekannya pinggul, hingga vagina itu menempel di mulutku. Refleks lidahku terjulur. Yu Nem mengerang keras. Di tekan lagi, dan digoyangkannya pantat bulat itu. Aku coba menghindar karena nafasku jadi sesak. Tapi Yu Nem kembali menekan sambil terus melumat penisku dengan rakus.
Perempuan itu adalah janda yang sudah lama cerai dari suaminya. Mungkin dia memang sangat butuh sentuhan seperti halnya Bu Lik. Bedanya, Bu Lik bisa melampiaskan ke-aku atau Mas Bambang, dan mungkin ke lelaki lain. Sedangkan Yu Nem, mana bisa. Kini di hadapannya ada aku. Lelaki yang beranjak dewasa tapi sudah mahir bersenggama karena ‘pelajaran’ Bu Lik-nya.
Yu Nem mengangkat pantatnya, dan;
“Gus.. digigit itilnya.. (klitorisnya)..” Aku menggigit lembut itil itu. Aromanya memang tidak sewangi vagina Bu Lik. Tapi sangat terasa lubangnya masih terasa sempit. Vagina yang belum pernah mengeluarkan bayi. Yu Nem kembali mengerang. Penisku disedot kuat-kuat. Aku lap vaginanya yang basah lendir bencampur ludahku dengan ujung jariknya, lalu kujilat-jilat lagi. Nafsuku sudah sampai di ubun-ubun. Yu Nem membalikkan badan. Dipegangnya penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Samar-samar aku lihat wajahnya meringis seperti menahan sakit. Dia berhenti sejenak, lalu mencoba menekan vaginanya. Ujung penisku mulai masuk. Dia kembali mendorong sehingga seluruh penisku masuk. Aku tidak tahu kenapa vagina Yu Nem begitu terasa sempitnya, sampai-sampai penisku yang sebenarnya tidak besar pun sulit masuk. Maklum umurku baru masuk belasan tahun, dan belum lama disunat.
Begitu seluruh penis tenggelam dalam vaginanya, Yu Nem menggerang. Seperti suara kereta api. Dia mencengkeram lenganku. Ditekannya tubuhnya seolah ingin menelan habis tubuhku. Digoyang-goyang tubuhnya.
Oohhh.. sshhh.. Ouhhh.. Yu Nem mau keluar Gus..”
Vagina Yu Nem mulai berdenyut-denyut saat melepas maninya, penisku tak kucabut karena terasa nikmat seperti dipijit-pijit oleh jepitan bibir dan lubang vaginanya yang berdenyut.
“”Aahhh.. Yu Nem.. memang tidak semahir Bu Lik.””
Ketika dengan Bu Lik, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sehingga cepat sekali keluar. Seringkali ketika ronde kedua baru Bu Lik mencapai puncaknya. Kini Yu Nem sepertinya sudah sampai di puncak, sedangkan aku belum apa-apa. Perempuan itu lemas di atas tubuhku.
“Gus belum keluar..?.”
“Belum.. Yu..”
Dia membalikkan badan, telentang, dan memintaku menaiki tubuhnya.
“Pelan-pelan masukkinya ya.. Gus..?.”
Katanya sambil mengarahkan penisku ke lubang vaginanya. Aku menekan penisku. Yu Nem merintih menahan sakit. Dia memintaku pelan-pelan. Belakangan baru aku tahu, rasa sakit itu dikarenakan dia sudah lama tidak gituan, sehingga lubang vaginanya seperti menyempit dan kering.
Ketika seluruh penisku berada dalam cengkeraman vaginanya, aku mulai memompa. Mula-mula dia terlihat pasif. Tetapi lama-lama kurasakan dia kembali terangsang dan mengimbangiku. Keringatnya bercucuran, menimbulkan aroma yang menyengat. Dalam kondisi normal mungkin aku muak dengan bau itu. Tetapi di tengah nafsu yang menjeratku, aku sangat menikmati aroma itu. Bahkan kemudian kuangkat tangannya sehingga nampak sepasang ketiak yang ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Aromanya benar-benar menyengat tajam. Aku benamkan wajahku ke ketiak itu. Dia menggelinjang menerima jilatanku. Aku terus menggenjot dengan hebat.
“Oohhh.. Gus.. uuhhh.. Yu Nem ndak tahan lagi.. aahhhk..”
Tubuh Yu Nem menggelinjang, denyutan dan jepitan vaginanya memberikan pijatan yang luar biasa nikmat pada batang penisku. Beberapa saat kemudian aku juga ikut mengejang.
“Buang di luar Gus…” kata Yu Nem.
Sepertinya dia tahu apa yang akan terjadi dengan penisku.
“Nanti Yu Nem bisa hamil Gus.. kalo pejuh-nya keluar didalam..”
Aku tarik keluar cepat penisku yang terjepit vagina Yu Nem, aku cengkeram batangnya menahan pejuh-ku yang sudah sangat ingin muncrat. Saat kutatap tubuh Yu Nem yang terlentang basah oleh keringat, mataku tertuju pada belahan dadanya, seketika muncul imajinasiku untuk melepas pejuh-ku di belahan dada yang sempit itu.
Aku tergopoh menghampiri belahan buah dada Yu Nem.
”Mau dibuang kemana pejuhnya.. Gus.. buang diatas perut saja..” pinta Yu Nem.
Tak kurihaukan kata-katanya, aku segera naik tepat diatas dadanya. Tergesa kubenamkan penisku pada belahan yang sempit dan basah itu. Yu Nem tahu yang aku mau, kedua tangannya menekan buah dadanya hingga menjepit penisku.
Aku menggesekkan penisku, mendorongnya dengan kuat saat mulai berdenyut-denyut dan;
“Creettt.. crettts.. crottts..”
Aku dorong dengan semakin kuat sampai seluruh penisku terbenam belahan payudara Yu Nem, kurasakan semprotkan maniku. Yang muncrat sampai wajahnya dan membasahi belahan payudaranya.
“Oohhh… sshhh… aahhhk.. Yuu.. aku keluarrr..”
“Lepasin semua Gus.. biar puaaas..”
Aku hempaskan seluruh penat cairan maniku yang tertumpuk di kepala penisku. Sejenak kupandangi cairan yang membanjiri belahan payudara dan sebagian wajah Yu Nem, aku sedikit terkejut. Selama ini pikirku cairan ‘pejuh-ku’ seperti air kencing biasa, ternyata sangat berbeda. Seperti lendir ‘ingus’ putih kental dan lengket, baru kali ini aku melihat cairan maniku. Selama bersetubuh dengan Bu Lik tak pernah setetes pun maniku keluar dari mulut atau vaginanya, Dia selalu menelan habis maniku kalau aku keluar dimulutnya dan selalu menyuruhku melepas didalam vaginanya kalau aku pengin keluar saat mengocok lubang vulvanya.
Tanpa kuduga, dia hampiri penisku, dan dihisap-hisapnya sisa-sisa maniku. Juga sebagian yang ada di wajah dan payudaranya. Aku dipeluknya dengan erat, dan diciumnya wajahku, bibirku, kupingku. Aku jatuh telentang di sebelahnya.
Malam itu aku tertidur pulas. Aku terbangun oleh suara Bu Lik, memintaku segera mandi. Sekilas kulihat wajah Bu Lik menegang. Mungkin kecapekan dari bepergian. Tetapi memang ada yang ganjil. Suaranya amat berat. Dia seperti menghardikku.
Pulang sekolah barulah semuanya terjawab. Yu Nem menyeretku dengan wajah tegang.
“Jangan cerita ke Ibu.. kalo semalam Gus sama Yu Nem ‘gituan’..” katanya.
Perempuan itu bercerita bahwa pagi tadi dia dipanggil Bu Lik, diinterograsi. Ditanya kenapa Yu Nem tidur di kamarku. Mula-mula Yu Nem mengelak. Tapi Bu Lik bilang, bantalku beraroma minyam cem-ceman. Satu-satunya yang dituduh adalah Yu Nem karena dia yang paling dekat denganku. Akhirnya Yu Nem mengaku bahwa dia memang tidur di kamarku karena aku yang minta ditemani. Tidur biasa, tidak ngapa-ngapain.
“Bener ya Gus.. jangan bilang.. Pokoknya jangan ngaku..”
Wajah Yu Nem benar-benar tegang. Aku sendiri merasa sangat takut. Takut gagal membohongi Bu Lik.
Malamnya, di kamarku Bu Lik menanyaiku. Karung bantal sudah tak beraroma cem-ceman lagi. Sudah diganti.
“Kenapa Yu Nem tidur di sini tadi malam..?.” tanya Bu Lik.
“Saya takut Bu Lik.. Sepi sekali tadi malam ndak ada Bu Lik..” jawabku berbohong dengan kecemasan yang seakan hendak membunuhku.
“Ndak boleh Gus.. ndak boleh tidur dengan pembantu.. kamu sudah ‘gede’ sekarang.. Ngerti..?!.” Aku mengangguk.
“Gituan sama Yu Nem ya..?.” tanyanya.
Aku memang sudah menduga akan ditanya begitu. Tapi tetap saja aku amat takut, berdebar-debar. Ngeri.
“Ndak kok Bu Lik.. Saya ndak mau to..”
“Sumpah..?.”
“Iya.. sumpah Bu Lik..”
Perempuan itu menarik nafas, lalu mencium pipiku.
“Bu Lik ndak mau kamu ‘gituan’ sama perempuan lain.. kamu ‘punya’ Bu Lik.. Jadi sama Bu Lik saja..”
Dia memagut bibirku. Dan malam itu aku disetubuhi Bu Lik, berpura-pura lagi menjadi Pak Lik, berpura-pura menjadi suaminya. Tapi sangat nyata menyetubuhi vagina Bu Lik yang selalu haus gesekan dan kocokan penisku.
Sejak peristiwa dengan Yu Nem, aku memang sangat ingin mengulangi. Kesempatan kecil selalu kami gunakan. Kadang-kadang di dalam kamar Yu Nem di tengah malam buta. Tapi seringnya di gudang, di antara tumpukan karung-karung palawija, dalam kegelapan. Mengumbar gairah, menyetubuhi birahi dan akhirnya menghempaskan nafsu dalam puncak orgasme. Setelah selesai, kami menyelinap keluar, mengendap-endap masuk kamar masing-masing persis maling.
Seperti malam itu, aku merasakan sangat ingin bercumbu. Batang penisku selalu tegang tak mau diam sebelum puas mengocok vagina. Aku bergegas bangkit dari tempat tidurku dan melangkah mengendap kekamar Yu Nem, saat melintas di depan kamr Bu Lik ku coba mengintip dari lubang kunci pintu memastikan dia sudah tidur. Tampak oleh kedua mataku Bu Lik tertidur pulas dengan daster yang tak beraturan hingga tersingkap terlihat bagian tubuh seksinya, aku semakin tak tahan lagi dengan birahi yang semakin memuncak. Aku percepat langkah kekamar Yu Nem, tak berapa lama sampai aku didepan kamar Yu Nem yang memang biasa tak terkunci. Bergegas ku masuk kekamar itu, terlihat Yu Nem sedang berbaring diatas kasurnya dan tersenyum manis saat melihatku datang.
“Kenapa Gus.. Kangen ya sama Yu Nem…?. Tanyanya lirih.
Aku tak menjawab pertanyaanya, hanya mengagguk dan memberi isyarat untuk bergegas bangkit dan beranjak ke gudang. Ia segera bangkit dan meraih tanganku seraya mengajak melangkah menuju gudang. Kami berjalan sambil bergandengan tangan seperti layaknya sepasang kekasih yang dimabuk cinta, tak berapa lama kami sampai kegudang.
***Bersambung: Aku Dipaksa "Melayani" Bu Lik Part:3

POSTING BLOG TERPOPULER